Jumat, 22 Agustus 2008

mortui vivos docent, yang hidup belajar dari yang mati

BAB I. Kenangan di Awal-Awal Fakultas Kedokteran



Mortui vivos docent, bahasa latin yang terpampang gagah di depan pintu masuk laboratorium anatomi, artinya yang hidup belajar dari yang mati. Ian memasuki ruang itu agak tegang, karena yang akan mereka lihat dan pelajari di sini adalah mayat yang diawetkan dengan formalin (cadaver). Dia merasa tegang karena secara psikologis belum terbiasa melihat mayat, dan juga bau formalin pengawet mayat menyengat menusuk hidungnya.

” Ini guru kalian, dosen kalian, hormati mereka seperti menghormati kami. Jangan dianggap cadaver ini hanya mayat. Mereka yang ajarin kalian anatomi, tentang fisiologi, sistematika tubuh, yang tak bisa dijabarkan hanya dengan menghayal dan berimajinasi. Tugas kalian adalah menyelidiki tiap detil tubuh manusia dari kulit, otot, pembuluh darah sampai ke tulang. Selamat bekerja.”

Dokter Ida terus keliling laboratorium diantara kami ber 89 orang, mengamati praktek serius sekali. Mahasiswa yang muka jijik melihat cadaver dibentak, tapi lebih parah yang cengengesan memegang-megang pisau scalpel, langsung dicatat Bu Ida dan berapapun nilai semesterannya, paling tinggi hanya dapat C.

” Dokter itu soal moral dan etika nomor satu. Kalau dengan manusia yang sudah mati saja kamu tidak hormat, apalagi dengan orang hidup. Kalau senyam-senyum cengengesan begitu kamu tidak pantas jadi dokter, kamu pantasnya jadi selebritis, dan selebritis paling tinggi nilainya C di kelas saya.” Dokter Ida geram sekali kelihatannya.

Ups!! Purwanto yang ditegur tetap senyum, tidak sedih dan belakangan kami tahu dia masuk kedokteran pilihan kedua, jauh di lubuk hati paling dalam dia mau masuk ITB. Dan benar juga, tahun depannya dia lulus UMPTN lagi , walaupun tetap tidak di ITB, namun di pilihan keduanya kali ini di ITS.

Belakangan tahun 2006 kemarin namanya jadi ngetop di koran terkait kasus jembatan yang baru dibangunnya 4 bulan sudah rubuh di desa weleh agung. Memang tidak ada korban jiwa, Pur sang kontraktor hanya diwajibkan membangun ulang jembatan dengan pengawasan lebih ketat dari Dinas Pekerjaan Umum. Semua teman seangkatan Purwanto 11 tahun lalu di FK Balaputra menengadahkan tangan mengucap syukur Purwanto tidak melanjutkan di kedokteran. Bayangkan kalau pasien mati karena kelalaiannya, apa bisa dihidupkan lagi? Oh........Tidak. Orang pintar yang tidak care lebih baik ngurusi benda mati saja.

Pengalaman hari-hari pertama kuliah anatomi tersebut masih membekas dihati Ian. Dokter Ida yang killer itu berhasil mengajarinya hormat pada kehidupan, tidak menertawakan pasien dan yang terpenting Ian mulai menghargai seseorang bukan hanya dari kemampuan intelektualnya semata, sebab sepintar apapun mereka anak FK kalau cengengesan di depan cadaver nilai paling tinggi C.

” Lihat cadaver ini. Anak muda umur diperkirakan antara 20 sampai 25 tahun, berdada bidang, atletis dan banyak tatto. Meninggal karena 1 luka tusukan kecil tepat di jantung. Jenazahnya dianggap Mr. X, karena tidak diambil setelah 1 bulan di kamar jenazah forensik. Mortui vivos docent, belajarlah dari kematian anak muda ini. Betapa sakitnya jika tidak seorang pun mengenali kita. Atau pun jika ada yang kenal, tidak mau mengakui kenal kita.” Dr. Ida berkata-kata matanya menerawang ke atas, mirip pujangga sedang bersajak indah.

Untuk FK negeri, merupakan kemudahan tersendiri mendapatkan cadaver. Hampir tiap bulan ada 2-3 jenazah yang tidak bertuan atau tidak diambil keluarga selama 1 bulan di rumah sakit pendidikan milik pemerintah. Biasanya jenazah ini ditawarkan ke FK untuk dijadikan cadaver. Jenazah tersebut diperlakukan baik selayaknya jenazah biasa, dimandikan, disholatkan, dikafani, bedanya setelah semua proses tersebut, jenazah dimasukkan ke dalam bak berisi formalin 96%.

Seperti angkatan Ian yang berjumlah 89 orang, mereka kebagian 9 cadaver, untuk 10 kelompok. Tugas mereka mengurai cadaver dari kulit, otot, pembuluh darah, syarat, sampai ke tulang, dalam waktu 2 semester. Kalau di FK swasta, lebih sulit, konon kabarnya untuk 1 cadaver, mereka harus membayar jenazah 25-30 juta rupiah. Waw, pantesan mahal kuliah di FK swasta.

Ian Suwardi terlahir dari ayah kepala sekolah SMA negeri di pinggiran kota dan ibunya ibu rumah tangga biasa. Dia tumbuh sebagai remaja kelas menengah di kota kelahirannya Ogan. Bapaknya yang kepala sekolah termasuk contoh kepsek terjujur di OGAN bahkan mungkin di negeri Gemah Ripah ini. Walaupun telah menjabat kepsek 5 tahun, mereka hanya menempati rumah tipe 70 itu pun yang dikredit 15 tahun. Kendaraan sehari-hari juga hanya minibus second. Pak Suwardi, kepala sekolah jujur itu tidak pernah ”main buku” dan main ”uang bangku”, namun lucunya, dia tidak pernah dipromosikan menjadi kepala sekolah di SMA yang lebih elite di tengah kota, karena kabarnya kalau mau menjadi kepala sekolah seperti itu harus kasih upeti 1 mobil avanza (minimal) ke kepala dinas. Matilah, sampai lebaran monyet gak bakalan bisa!

Kesucian hati Pak Suwardi akhirnya ternoda saat Ian kelas 3 SMA. Ian yang di SMA Negeri Ujung Kota hanya duduk di peringkat 2 calon PMDK (penerimaan minat dan kemampuan, suatu cara masuk universitas negeri langsung tanpa test) untuk Universitas Balayuda, di bawah si peringkat 1 Amrullah. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setahun SMA ini biasanya hanya dijatah 1 orang masuk langsung universitas bergengsi di kota Ogan tersebut.

Merenung 3 hari, tidak enak makan 4 hari, menangis saat sholat tahajud 7 malam, akhirnya dengan tekad bulat Pak Kepala Sekolah Suwardi memutuskan berbuat dosa sekali saja buat anaknya. Semua nilai SMA Ian dari semester 1 sampai 5 dimanipulasinya sedemikian rupa sehingga lebih besar dari Amrullah. Pak Suwardi dalam rapat tertutup memohon guru-guru mata pelajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut agar maklum.

” Bapak-bapak, Ibu-ibu, guru SMA Negeri Ujung Kota yang terhormat. Saya selama ini selalu jujur dan transparan kepada kalian tentang dana BOS (dana operasional sekolah), dana ujian dan dana program-program kerja yang lain. Dan sekarang pun saya MAU JUJUR kepada kalian, bahwa saya pertama kali akan bertindak TIDAK JUJUR sebagai kepala sekolah demi anak saya. Besok, daftar usulan peringkat PMDK ke Universitas Balayuda akan kita kirimkan dan seperti biasa kita usulkan 10 nama terbaik. Kemungkinan besar yang diterima cuma satu. Ian anak saya lumayan pintar, tapi dia tidak sejenius Amrullah. Sebagai kepala sekolah yang baik saya pasti akan mengajukan Amrullah di urutan pertama karena dia brilyan. Tapi sebagai seorang bapak, saya mohon saudara-saudara ijinkan saya mengajukan Ian di urutan pertama dengan segala penyesuaian nilainya. Ini bukan perintah, ini permohonan atau saya boleh bilang saya mengemis pada saudara-saudara.” Pak suwardi terdiam terisak-isak 10 detik,menyeka air mata dari kacamatanya.

Para guru pun terdiam, ada yang matanya berkaca-kaca. Maklum saja dari 15 guru di sana hanya Bu Lastri dan Pak Johan yang belum punya anak, karena masih lajang. Semua guru lain mengerti cita-cita bapak terhadap anaknya, obsesi seorang Kepsek jujur ini pun dapat dimengerti.

Mungkin inilah kolusi teragung dan nepotisme yang terindah yang pernah mereka saksikan seumur hidup. Pak Suwardi si kepsek berhati malaikat akhirnya memetik buah dosa di Taman Firdaus demi kuliah sang anak. Kalau sudah begini, siapa yang berani mengatakan kolusi dan nepotisme itu dosa?

”Saya mohon, bapak dan ibu tidak menceritakan hal ini kepada orang lain, terutama ke Amrullah. Bila nanti saatnya tiba, saya akan meminta maaf langsung kepada dia.” Kata terakhir di rapat itu selesai, tapi airmata terus berlinang di mata beberapa peserta. Confidential. Case was closed !

Ya, akhirnya yang diterima PMDK dari SMA itu ternyata dua orang. Ian Suwardi di fakultas kedokteran dan Amrullah Hamid di fakultas pertanian. Amrullah si jenius tidak mau mendaftar ulang untuk pertanian, dia lebih memilih bertarung lagi di UMPTN untuk mengambil kedokteran dan memang dasar otak encer, dia pun masuk FK Universitas Balayuda. Ian karena PMDK nomor urutnya 6, sedang Amrullah nomor urut 55.

5 September 1996 malam, 52 alumni SMA Negeri Ujung Kota yang lolos UMPTN membuat acara sedekahan kecil-kecilan bakar jagung di halaman SMA mereka, dengan mengundang semua guru. Untuk SMA pinggiran, prestasi mereka lumayan tahun ini, hampir 25% muridnya masuk UMPTN.

”Amrullah, selamat, ya. Kamu akhirnya masuk kedokteran yang sangat kamu cita-citakan.” Pak Suwardi menjabat erat tangan mantan muridnya itu dengan hangat. ”Ada satu hal yang perlu bapak ceritakan kepada kamu soal........” Kata-kata Pak Suwardi tertahan, menelan ludah agak ragu dia melanjutkan.

”Tak apa-apa, Pak. Saya tahu dan saya mengerti kok, Pak. Saya pun akan melakukan hal yang sama, jika saya dalam posisi Bapak. Dan apapun yang telah Bapak lakukan kemarin tidak masalah. Saya akan tetap mengenang kepemimpinan Bapak yang jujur dan berwibawa. Dan Bapak adalah ayah yang gigih dan pejuang keras. Bapak berani berkorban apa saja demi anak Bapak. Saya akan tetap meneladani Bapak. Permisi, Pak!!” Amrullah kembali ke acara di lapangan bercanda lepas dengan semua teman tanpa beban, sementara sang kepsek terdiam, penuh beban berat di dada. Untung dia bukan perokok, bukan peminum dan tidak gemar makan junk food, sehingga dia tidak kena serangan jantung saat itu.

Ya, kejujuran. Harta teragung yang tersisa di republik ini, yang dulu ada pada diri Pak Suwardi telah tergadai 5 bulan lalu demi sang anak. Motivasi serupa pasti menjadi alasan 80% koruptor di negeri ini,”Aku korupsi demi anakku, biarlah aku bergelimang dosa asal dana pendidikan anakku di Sydney cukup.” Mirip juga dengan curhat Sarintem si WTS, ”Biarlah aku bergelimang noda, hinaan, peluh dan lendir menjijikkan ini asalkan anakku di kampung bisa sekolah.” Bedanya Pak Suwardi melakukannya dosa itu sekali seumur hidup, sedangkan yang lain keterusan.

Ian masuk kedokteran dengan bangganya, bagaimana tidak, waktu OPDIK (orientasi pendidikan) saja tiap mahasiswa fakultas lain memandang kagum kalau terlihat tulisan di tanda pengenal ada ’FK’-nya. Cewe secantik apa pun pasti tersenyum manis. ”Nikmati saja manisnya senyum cewek fakultas lain, Yan. Mumpung orientasinya masih gabung mereka. Nanti kalau dipisah, di FK kita cewek-cewek yang tersisa pasti kumel, gak sempet berbedak, kaca mata tebal, pakaian model nenek-nenek. Hehehe.” Juan, si handsome cekikikan. ”Kalo tahu begitu, kenapa mau masuk kedokteran, Juan? Kamu jadi pemain sinetron mungkin lebih cocok.” Ian pun penasaran.

Diplomatis Juan bercuap-cuap,” Mamaku kencing manis, Papaku hipertensi. Semua kakek-nenekku dari kedua pihak keluargaku meninggal karena stroke. Jadi penyakit adalah musuh bebuyutan keluarga besarku. Aku harus balas dendam....Bersama sinar rembulan...aku melawan mereka. Lagian, walaupun dokter cewek jelek-jelek, perawat kan banyak yang cantik. Tak ada rotan, akar pun jadi. Hehehehe...” Juan cekikikan lagi, ya si handsome memang terkenal playboy sejak SMA. Jauh dari Kota Maung dia ke Kota Ogan, karena yang penting kuliah FK, dan di universitas negeri, sebab kalau di swasta biayanya bisa 3-5 kali lipatnya.

”Bokap gue pengusaha lumayan di Bandung, Yan. Tetapi kalau menjadikan aku dokter dia harus keluarkan duit 500 sampai 800 juta, lebih baik dia kasih duit itu sekarang ke aku dan aku buat bisnis warnet, mini market, bimbingan belajar atau kursus komputer. Bener, gak?”

Ian mengangguk-angguk, tapi mukanya pucat juga. Bapak Juan bisa kasih uang 500 juta rupiah buat usaha ke anaknya, CASH!! Saat ini juga. Bapak dia bisa kasih berapa, ya? 500 ribu aja mungkin harus minjam dari koperasi sekolah.

Kuliah pre-klinik terasa monoton, yaitu belajar di ruangan kuliah, laboratorium lalu ujian. Nilai Ian cukup-cukup makan, yang penting tidak ada merah. Dan beruntung ia satu angkatan dengan si spesial one, Lexy Handayani puteri Prof. Dr. Mulyana Prakasa, Sp.B.Ort (spesialis bedah Ortopedi), Pembantu Dekan I di FK Universitas Balaputra. Lexy yang otaknya pas-pasan, diusahakan sedemikian rupa oleh Papanda tersayang agar tidak tertinggal dalam SKS dan tamat tepat pada waktunya, kalau perlu lebih cepat dari yang telah diprogramkan. Contohnya sebelum angkatan mereka masuk, mengambil SKS harus sesuai indeks pretasi kumulatif (IPK) yang dicapai semester sebelumnya (misalnya: IPK lebih dari 3 bisa ambil sampai 24 SKS, tapi jika IPK 1, hanya bisa mengambil 6 SKS), maka sejak Lexy kuliah dan IPK nya antara 1,5- 2,5 saja, maka papanda tersayang membuat dekrit darurat, bahwa sejak angkatan FK 96, ambil SKS tidak perlu memperhatikan IPK lagi, sesanggupnya, semaunya, sampai termehek-mehek juga bisa. Bahkan si Lexy pernah ambil 28 SKS, karena nilai D dan E setengah mati pun tidak dapat diubah papanda menjadi C, tanpa mengulang.

” Kalau Prof. Mulyana paksa saya ubah nilai Lexy dari E ke B malah A, saya akan keluar dari Universitas ini dan akan saya ungkapkan masalah ini ke media masa, KOMNAS HAM, KOMISI YUDISIAL, WHO, DPR. Saya serius, ini masalah ilmu dan kompetensi! Mati semua anak orang kalau ada dokter dipaksa lulus seperti itu.” Ancam Prof Anwar, guru besar fisiologi kami. Dia memang terkenal jujur dan penentang manipulasi nilai ujian di FK. Ini bisa dimaklumi memang, karena tidak ada seorang pun anaknya yang kuliah di kedokteran. Anaknya ada yang ambil komputer, design interior bahkan ada yang tidak kuliah karena sudah tenar dan jadi selebritis dari ajang Kontes Dangdut Ogan Mania. Akhirnya, dengan berat Lexy tetap harus berjuang mengulang nilai D dan E, tapi waktu mengulangnya sesuka dia.

So, mahasiswa FK angkatan Ian memang orang-orang yang beruntung, dan beberapa senior pun menjadi ikut enak.

Namun ada 9 mahasiswa angkatan 94 yang 2 tahun diatas mereka ketiban sial. Senior-senior itu sempat demonstrasi ke ruang Pembantu Dekan (PD) I. Mereka ada hutang kuliah Farmakologi III di semester depan (semester genap), tapi karena Lexy ingin ambil Farmakologi III semester ini (semester ganjil), maka papanda Lexy yayang mengubah jadwal Farmakologi III ke semester ini. Ada kira-kira 63 orang senior yang tertolong dengan keputusan ini, tapi 9 mahasiswa ini malah harus menunggu 1 tahun lagi, padahal mereka ber 9 hanya hutang Farmakologi III saja, sebelum dilantik jadi sarjana kedokteran (S.Ked.).

”Banyak mahasiswa yang terbantu dengan perubahan jadwal ini!!” Kilah Prof. Mulyana diplomatis.

” Tapi perubahan jadwal itu mendadak sekali, Prof. Kami tahunya sampai semester kemarin jadwal Farmakologi III itu di semester genap, maka itu kami tunda mengambilnya. Kami, kan rugi waktu, Prof. Kalau memang ada perubahan jadwal, dari semester kemarin mestinya disosialisasikan dahulu. Jangan hati harian , dong. Sekehendak Prof saja mengubah jadwal.”

Mata Prof. Mulyana melotot, merah meradang hampir keluar dari rongga mata di tengkoraknya. ” Kalian jangan mengatur saya, ya? Kalian kemampuan belajarnya kurang!! makanya kalian telat, itu intinya. Apa kalian kira ambil Farmakologi III bisa langsung lulus? Langsung dilantik S.Ked.? Belum tentu juga, kan? Kalau tidak mau diombang-ambing peraturan, belajar yang benar supaya semua pelajaran tidak tinggal. Sekarang keluar, atau saya panggil satpam, atau saya skors!!!!”

” Ini semua gara-gara si kurang ajar Lexy! Awas dia nanti, kalau ada kesempatan aku balas demdam!” Kak Riswan menggerutu, Tapi Bang Bonar tertunduk lemas. “Habis! tambah lama awak terjebak di Ogan ini. Ah, susah kalo anak bisa ngatur bapak.”Akhirnya demontrasi mereka bubar. Ya, lebih baik rugi 1 tahun daripada di drop out karena dianggap tidak menghormati guru. Sebab ada pepatah mengatakan …jika guru kencing berdiri, maka………..Guru itu laki-laki, sebab kalo guru itu perempuan dia kencingnya jongkok. Masuk akal, kan?

“ Kasihan ya, senior kita itu. Rull. Gara-gara Lexy jadi terlambat masuk klinik satu tahun.” Ketus Hilda si kacamata minus 3.

Amrullah menggangguk, lalu tersenyum.”Kasih sayang bapak sama anak itu harga mati, Da. Aku pernah ketemu guru yang sangat jujur, tapi demi anak jadi gelap mata juga. Tapi guru itu hanya mengorbankan satu murid. Sedangkan Prof. Mulyana ini lebih gila, 9 murid, padahal 2 diantaranya pengurus senat. Cinta bapak pada anak kadang bikin dilema...kasian.”

Saat bicara itu Amrullah tak sadar, Ian temannya si anak Kepsek sedang berdiri dibelakang mereka. Ian tertegun dan menegur Amrullah, ” Maksud lo, Bapak ku, kan?” Amrullah terkejut, ” Eh, Yan. Kamu di sini? Maaf aku gak tahu kamu di belakang.”

”Jawab dulu! Maksud omongan kamu tadi bapak ku, kan?” Ian bicara agak getir, entah campuran penasaran, marah, sedih, sampai matanya agak berkaca-kaca.

”Ian, temanku sayang. Aku tidak mau jawab dan tidak perlu lagi dijawab! Kamu lagi emosi. Tanya sendiri pada Pak Suwardi kebenarannya. Aku pergi dulu. Kita ngobrol lagi besok kalau kamu sudah tenang. Yang penting kamu tahu, dalam perkara ini, aku adalah korban, jadi kamu gak berhak marah dan aku tidak bersalah. Sampai besok, Ian.” Amrullah pergi, mukanya tetap santai.

” Lho, kok pergi. Ada apa kalian, Yan?” Hilda bingung. Ian menunduk, mukanya pucat. Selamat bingung aja Hilda, karena setahu dia Amrullah dan Ian adalah dua sahabat karib yang tak terpisahkan. Amrullah si Jenius IP-nya (indeks prestasi) selalu diatas 3, bahkan semester 1 dan 3 IP-nya paling besar. Sedangkan Ian selalu belajar bersama Amrullah, IPnya antara 2,5 ke 3 tapi tidak pernah ada angka merah. Tapi membahas Lexy dan Prof Mulyana, kenapa keduanya bersitegang? ”Ah, peduli amat, sanak bukan, saudara apalagi. Kalau mereka mau cerita oke, gak cerita gak papa.”

Dan seterusnya, dan seterusnya dan akhirnya Ian, Amrullah, Hilda, Juan, 13 mahasiswa lain seangkatan Ian di FK 96 dan tentu saja Lexy si special one dapat dilantik menjadi dokter muda, atau Sarjana Kedokteran (S.Ked.) tepat waktu pada 15 januari 2000. Sedangkan 71 orang lainnya angkatan 96 FK Balayudha ketinggalan kereta.

Sebagian besar sih memang karena tidak sanggup otaknya atau tidak tekun, tetapi ada juga seperti Henky Aritonang, yang salah jurusan. Tahun 98 kemarin dia yang paling getol berdemonstrasi menurunkan orde baru. Jadi nilainya merah melulu.

” Kamu pindah aja ke sospol, Hen.” Kata teman-teman.

” Aduh, Lae. Anak Sospol demo apa hebatnya? Itu sudah habitatnya, demo itu praktikum mereka, ada 50 SKS disana. Nah, Kalau anak FK seperti aku jadi macan demo, itu baru hebat, kan?. Makanya aku jadi demonstran telah dikenal sampai ke pusat. Aku gak jadi dokter pun gak papa, karena aku kuliah memang tujuannya jadi demonstran kayak Bang Hariman itu, lah.”

Henky memang pemuja Bang Hari, makanya cita-citanya sewaktu SMA adalah jadi pendemo dari FK, bukan jadi dokter. Dan entah angin duduk darimana, Si Henky akhirnya bisa lulus juga tetapi pas banget 10 tahun, batas akhir DO. Dan kabarnya, dia sekarang bikin susah Dinas Kesehatan di daerah Batang Hari, karena semua penyelewengan, mark up pengadaan vaksin imunisasi, proyek fiktif rehabilitasi puskesmas, penyelewengan askin dan lain-lain di kabupaten itu dia adukan ke mana-mana. Orang DINAS menggelari Henky si trouble maker dan berusaha sedemikian rupa supaya dia pergi dari kabupaten itu. Namun si Henky innocent tak ada cacat ditemukan untuk menjadi alasan pengusiran. Disamping itu, kabupaten lain di seluruh negeri Gemah Ripah ini tidak ada yang mau Henky masuk ke wilayahnya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, dia akan tetap disana menjadi duri dalam daging pejabat daerah Batang Hari yang terkait. Nasib!!

Wisuda S.Ked berlangsung biasa-biasa saja tak terlalu mengharukan, karena memang di kedokteran S.ked. itu gelar tak bergigi, belum bisa mengobati orang, hanya lulus bidang akademis. Makanya di beberapa universitas di Jawa, Dokter itu dianggap sarjana satu setengah. S1 nya S.Ked., lalu ambil profesi 2-3 tahun dianggap setengah S2.



BAB II. MASA- MASA KLINIK SENIOR (CO-ASSISTANT/ COASS)



Telunjuk sakti itu teracung lagi, ” Coass, ambil hasil laboratorium sekarang ya, terus waktu pulangnya daftarkan pasien ini ke ruang O.K (ruang operasi), bilang ke penata anestesinya, operasi cito, solutio placenta!!” Mbak Wina, si cantik residen (dokter yang magang mengambil spesialisasi) kebidanan memang terkenal telunjuk sakti, tukang suruh-suruh coass. Bibirnya bagus, tapi kata-katanya menusuk tajam, selalu mengintimidasi coass yang magang di OBGIN (obstetri dan ginekologi).

” Kalian itu harus nurut, ya. Kami-kami inilah yang nanti kasih kalian pasien ujian klinik. Kalau kalian gak nurut, mbak kasih pasien partus kasep yang tangan bayinya udah keluar. Biar mampus!!!” Aduh, muka Ian dan coass OBGIN pucat semua. Kalo kasus-kasus parah begitu dikasih ujian, sudah pasti ngulang, deh.

Belakangan Ian tahu, tidak mungkin kasus sulit diberikan ke coass, pasti hanya kasus partus (melahirkan) normal, cuma memang Mbak Wina ingin mengintimidasi saja, supaya coass OBGIN mudah disuruh-suruh. Dia juga sebenarnya capek disuruh-suruh seniornya, makanya dia balas dendam ke coass kali, ya.

” Kamu tidak mendekati anak akbid (akademi kebidanan) atau anak akper (akademi keperawatan), Yan?” tanya Juan dengan senyum mesum menggodanya. ”Anaknya manis-manis, lho. Rayu-rayu aja dikit, pasti mau deh dicium, hehehehehe....” Juan terkekeh-kekeh membuat Ian geleng-geleng kepala.

”Astagafirullah, Juan. Kamu mainin anak akbid di bangsal? Ketahuan residen bisa dikeluarin, lho.” Ngucap si Amrullah mengingatkan Juan.” Gak, lah. Aku bawa ke kos an, kok. Di bangsal kan banyak pasien. Hehehehe.” Juan terkekeh lagi, tapi memang ganteng, cekikikan aja dia tetap enak dilihat. Apa benar kata orang siapa pun dari Kota Maung pasti punya pelet, ya?

Tapi teori pelet itu tidak benar juga. Masalahnya dari kelompok Ian yang coass di OBGIN ada 20 orang, terdiri dari 8 cowok dan hanya 3 orang yang tidak ada affair dengan anak akbid. Darto, karena udah pacaran ama Fera yang satu kelompok di OBGIN. Ian, karena memang pengen belajar serius di OBGIN, siapa tahu bisa ambil spesilaisasi ini nantinya. Dan Amrullah, karena tidak ada budget buat pacaran.

” Pacaran itu gak mungkin modal i love you saja, kan? Harus traktir nonton berdua keluar uang 25 ribu, beli snack nonton 20 ribu, trus abis nonton makan di restoran minimal 25 ribu lagi. Bensin kira-kira 10 ribu. Nah, kalo tiap kencan habis 80 ribu, kenapa tidak diajak nikah aja sekalian tuh cewek? Nikah kan cukup mas kawin seperangkat alat sholat? Lebih murah hitung-hitungannya dan lebih berpahala. Daripada kamu Juan, bukan cuma tebar pesona, tapi tebar sperma kemana-mana. Dosa, tahu?” Amrullah bersabda saat senggang di ruang coass laki-laki.

Juan terkekeh-kekeh, ”Salah Rull. Aku gak tebar sperma. Aku pakai kondom, kok. Biar aman. Jadi tidak tersebar-sebar. Kamu sih alim banget. Aku tawarin cewek yang mau ajarin kamu make love gratis, gak mau. Salah kamu sendiri.” Juan tak mau kalah.

” Kamu gak menghormati wanita, Juan. Anggap mereka ibumu, adikmu cewek. Kenapa kamu tega mempermainkan wanita untuk puas-puain nafsu kamu saja?”

”Hei, siapa bilang cewek-cewek itu aku mainin? Enggak,lah, Rull. Sebagian besar yang aku tiduri malah gak perawan lagi. Dan aku tidak janjiin nikah sama mereka, kok. Just have fun aja dan mereka mau. Apa masalahnya?” Juan terkekeh.

Dan kalau Amrullah si ustadz dan Juan si Playboy sudah berdebat soal seks dan wanita, pasti tidak selesai-selesai. Anak lain tidak memihak, hanya sebaiknya minimal 1 orang mengawasi debat kusir itu, karena mereka berdua pernah 2 kali adu jotos beneran karena emosi.

Terakhir tiga bulan yang lalu saat Juan cerita pada Amrullah kalau dia saat kencan malam minggu berhasil meniduri Mita di kos-annya. Mita adalah gadis satu angkatan di bawah kami dengan IP nya selalu diatas 3. Anaknya manis dan suaranya merdu, yang bikin gawat, nih Amrullah suka banget dengan Mita. Sejak semester 3 Amrullah selalu meminjamkan semua catatan, diktat, buku-buku, kumpulan soalnya ke Mita, tapi tanpa sekalipun berani mengungkapkan rasa cintanya itu. Eh, si playboy Juan, dengan rayuan maut cukup 2-3 minggu, bisa menaklukkan hati Mita dan tanpa rasa berdosa, bercerita mendetail saat-saat mereka make love di kos pada Amrullah. Gedebuk!!! Mata kiri Juan bengkak dan biru ditinju Amrullah yang kalap. Plak!! Pecah bibir kanan Amrullah ditendang Juan yang spontan membalas.

” Kamu gila, ya, Rull! Tidak ada angin tak ada hujan ninju mataku. Masih mau diterusin nih ?” Umpat Juan.” Kamu kok tega nodai Mita, Juan. Dia anak baik-baik!!” Amrullah suaranya sampai nyaring lirih seperti tercekik dan sesak karena geram.

”Kamu kan biasa dengar ceritaku ML ama cewek lain, kenapa sekarang jadi marah-marah? Lagian siapa yang menodain siapa? Mita itu sudah gak perawan, kok. Malah udah canggih, hot banget. You salah anggap dia malaikat, Rull. Dia sejak SMP kelas 3 udah pernah ML!! Makanya, kalau suka sama cewek tiruin aku, ikut diperiksa dalam-dalamannya juga biar gak ketipu!!” Juan pergi, mungkin cari es untuk mengompres matanya.

Lucunya, baru 2 menit setelah Juan berlalu, barulah Amrullah terhuyung-huyung dan akhirnya terkapar di lantai. Ian yang tadinya siap-siap melerai mereka, menolong Amrullah. Masih bernafas spontan, Jalan nafas baik, nadi carotis berdennyut normal, luka di bibir Amrullah tampaknya tidak parah, tidak mungkin gegar otak. Berhubung sedang magang di Bagian Penyakit Dalam, Sholeh teman mereka satu group mengambil alat glucotrain, mengambil darah sedikit di ujung telujuk jari tangan Amrullah, lalu...tes....keluar hasil 122 mg/dL. Normal saja gula darah si Rull, lalu kenapa dia pingsan?

Sepuluh menit kemudian pelan-pelan Amrullah buka mata, tapi langsung sesengukan hik,hik,hik, ”Kurang ajar!! Habis, Yan. Hancur, Yan. Lebih hancur daripada waktu PMDK dulu tidak masuk kedokteran, malah masuk pertanian. Kamu ingat, kan?”Amrullah yang biasanya setegar gunung batu, terisak-isak kayak banci dibahu Iyan. ”Aduh, brengsek, nih si Amrullah. Kok, masalah PMDK dibahas. Ngapain diingat-ingat lagi, sih?” Gerutuh Ian dalam hati.

”Ya, sudah, Rull. Mulai besok kita boikot si Juan. Jangan kasih dia pinjam buku, jangan kasih contoh soal, jangan bantu dia cari literatur di internet. Biar dia tahu rasa nyakitin hati Amrullah, sama juga nyakitin hati kita semua.” Bujuknya.

”Bukan Juan, Yan. Tapi Mita yang brengsek. Juan memang sudah habitatnya otak mesum. Tapi Mita si munafik yang bikin sakit. Tiga tahun aku berusaha mengambil hati dia, karena dia pintar, tidak genit, malah alim banget. Itu membuat aku memuja dia, tergila-gila dengannya. Kamu tahu kan Yan, dia dipegang tangan saja ngingetin, bukan muhrim, Bang. Selalu begitu. Tapi eh, malah bisa digituin Juan. Lalu dia ngaku juga ke Juan, kalau sudah ML sejak SMP kelas 3. Jadi aku ini kayak kambing congek saja dibuatnya. Memuja cewek yang ternyata dalemannya babak belur juga. Udah diobok-obok orang sejak SMP kelas 3. Sakit, Yan. Sakit.”

Wah, muka Amrullah mirip banget ibu-ibu yang ngeden mau melahirkan. Kayak menderita antara hidup dan mati. Cinta itu ternyata menyakitkan banget, ya?

Itu kejadian minggu kedua mereka menjalani coass di Penyakit Dalam. Juan dan Amrullah terpaksa mengaku berdua jatuh saat berboncengan motor pulang dari rumah sakit, sebab kalau ketahuan mereka berkelahi pasti tidak lulus di Penyakit Dalam. Dan Prof. Edu, yang koordinator coass di Penyakit Dalam pernah berjanji, ” Teman sejawat itu saudara. Jangan saling menyakiti. Kalau kalian berkelahi di rumah sakit, saya pastikan kalian mengulang di Penyakit Dalam. Dan bonusnya, ngulangnya DIPASTIKAN DUA KALI. Mampus, kan bisa setengah tahun di Penyakit Dalam doang. Kagak nahan.....

Magang di bangsal lain banyak juga kisah menarik. Beberapa yang heboh antara lain waktu Hilda dan Silvia kakak tingkat kami jaga malam di Mata, bertemu Soleh. Soleh itu mantan pasien mata 10 tahun yang lalu, yang terbengkalai di bangsal karena sepsis tetapi karena tidak terdiagnosis dan ditatalaksana dengan baik, meninggal mengenaskan.

Ya, Ian terkenang kembali pesan Dokter Ida, mortui vivos docent. Mereka yang hidup belajar dari Soleh yang mati terbengkalai, bahwa keteledoran dan ketidakseriusan dokter menangani pasien memiliki konsekuensi. Pasien yang tidak mampu akan menghantui pikiran dan perasaan si dokter dalam mimpi seram di kegelapan malam. Pasien yang mampu, keluarganya akan menghantui dokter yang merawat dengan tuntutan malpraktek menggunakan pengacara-pengacara berlidah srigala.

” Cuma matanya saja ada di muka. Merah menyala, tapi tidak ada hidung, tidak ada mulut. Dia jalan tertatih-tatih sambil bawa tiang infus. Kami berdua ngucap. Tiba-tiba dia pergi, hilang begitu saja!!” Cerita Hilda bersemangat sekali, Kak Silvia mengangguk-angguk sambil menelan ludah, dan sejak saat itu, seolah menjadi justifikasi bagi coass di Mata untuk boleh jaga malam berlainan jenis, kalau bisa ada laki-lakinya tiap jaga. Bahkan beberapa orang diaturnya supaya berbarengan dengan pacar. Ya, banyak kejadian deh sesudahnya, karena tempat tidur coass di Mata mepet untuk berdua, tidak dipisah seperti di bangsal lain. Untung mereka anak FK, jadi gak ada yang MBA (married by accident) karena semua sudah paham kontrasepsi.

Akhirnya setelah melewati 5 bangsal mayor (yang dijalani 10 minggu) dan 10 bangsal minor (yang dijalani 5 minggu), di awal Agustus 2002, Ian dan 13 temannya seangkatan, serta 62 senior mereka diyudisium oleh dekan. Di angkatan mereka, Amrullah dan Hilda langsung lulus dokter. Di angkatan senior, ada 23 orang yang langsung lulus. Ian mengulang di THT dan neurologi. Juan mengulang di OBGIN, bukan karena ketahuan asusila dengan cewek, tapi karena ketiduran di kamar coass sambil merokok, dan kasur pun kebakaran. Untung dia terbangun sebelum terpanggang. Yang mengenaskan nasib si Bob, dia mengulang di 4 Mayor (stase 10 minggu) dan 3 minor (stase 5 minggu), gedebuk!!! Bob yang tinggi besar langsung pingsan, ngulang satu tahun. MASUK PENJARA LAGI!!!!

Dan 3 bulan setelah mengulang, Ian lulus menjadi dokter. Dilantik dengan mengucapkan sumpah kedokteran yang sakral itu, lalu keesokan harinya diwisuda.

”Mau PTT (pegawai tidak tetap, sejenis dokter kontrak ke daerah-daerah) atau langsung ambil spesialis, Yan?” Tanya salah satu teman wisudanya Saipul Huda.”Ambil spesialis dari Hongkong? Emang bisa sekolah modal hawa mulut? Cari duit dulu,lah, Pul!!” Keduanya ketawa bahagia. Ya, sudah. Kalau mau PTT, ya PTT dulu,lah!



BAB III. MASA-MASA PTT

Ian ditempatkan di Kabupaten Sunge Dua, 2 jam dari Kota Ogan. Sebuah Puskesmas kriteria biasa, di menjadi dokter di balai pengobatan, sedangkan pimpinan Puskesmasnya Pak Andi, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, PNS berusia 46 tahun dengan golongan IIIC.

” Dia itu sarjana jadi-jadian, dok. Entah kapan dia kuliah, universitasnya entah kapan berdiri, eh, 4 tahun dia mendaftar, sudah dapat gelar sarjana. Kami dulu sama-sama kok di SPK (sekolah perawat kesehatan).” Gerutuh Pak Thamrin, salah satu paramedis di Puskesmasnya.

” Mungkin Bapak benar. Tapi Pak Andi juga cerdas. Negara kita kan tidak terlalu memusingkan kompetensi dan keahlian. Yang penting kan dokumen sarjana lengkap, memenuhi syarat dan dia bisa berurusan, pasti semua beres. Kenapa Pak Thamrin tidak sekolah juga?”

Pak Thamrin terdiam. Benar juga, walau kuliah main-main, namun Pak Andi ada usaha meningkatkan prestise dirinya. Sedangkan dia, hanya menggerutuh, mengeluh, dan iri hati pada Pak Andi, tapi tidak ada usaha meningkatkan jati diri.

Hubungan kerja Ian dengan Pak Andi lumayan baik. Pak Andi tidak praktek, dia merasa cukup dapat uang dari mengakal-akalin kegiatan Puskesmas.

” Nah, lihat ini, dokter Ian. ” Pak Andi membuka laci kerjanya, di sana banyak cap berbagai toko bangunan, toko makanan, toko alat tulis kantor, SPBU, dan tak lupa cap semua desa di wilayah kerja Puskesmas mereka.

” Pertama jadi kepala Puskesmas, ada sebuah kegiatan pelatihan dukun bayi, anggaran dari dinas 3 juta. Saya kerjakan, terus buat laporannya dengan teliti. Laporan dikembalikan, salah inilah, salah itulah. Seminggu kemudian saya benerin laporannya. Masih salah. Akhirnya, saya pusing, yang benar gimana, pak? Lalu petugas itu minta uang 200 ribu dari saya, terus saya disuruh menanda tangani dan mengecap kertas-kertas kosong. Laporan selanjutnya biarlah mereka yang membuat isinya.

Nah, sejak saat itu, kalau ada kegiatan, ya saya kongkalikong saja dengan petugas dinas seolah-olah kegiatan jalan. Uangnya kami bagi-bagi. Hehehehehe.” Pak Andi terpingkal-pingkal tertawa, sedangkan Ian mendengarnya sebenarnya agak muak, mereka para birokrat ini menceritakan dosa seperti itu bukan malu atau takut, eh, malah dosa dianggap lelucon. Tetapi untungnya bukan dia yang jadi korup. Entah apa jadinya kalau tabungannya sekarang hasil korupsi. Mungkin melanjutkan spesialis bakalan susah, atau kalau punya anak-istri nanti sakit-sakitan melulu karena makan uang haram.

Pasien di daerah Ian lumayan mampu. Tiap hari 20-25 pasien berobat ke prakteknya pribadi, dengan tarif 20- 30 ribu rupiah per pasien. Ian bisa menabung 500-700 ribu sehari, dalam 5 hari seminggu, sebab Sabtu dan Minggu dia pulang ke Ogan. Ian sangat berbakti, tiap bulan 5 juta dia berikan ke orang tuanya supaya ayah dan ibunya turut merasakan bahagia punya anak seorang dokter. Mobil butut Pak Suwardi digantikannya Innova baru, walaupun kredit 4 tahun. Lumayan jugalah.

Selama PTT Ian beberapa kali bertemu teman seangkatannya dahulu. Amrullah si jenius itu sekarang menjadi kepala puskesmas di tempat sangat terpencil, pulau Lubuk Jero. Dari Ogan kita naik mobil 3 jam sampai di pelabuhan rakyat di pantai timur, lalu dari sana naik speed boat 4 jam ke daerahnya, melewati selat Lubuk. Gelombangnya lumayan tinggi kalau ada angin kencang dapat 2- 2,5 meter tinggi ombaknya.

” Aku sering dipermainkan seperti Kapus (kepala puskesmas) mu, Pak Andi. Tapi aku tetap tidak mau manipulasi. Orang-orang mata duitan itu aku ancam, terima laporan saya, atau saya adukan kalian ke inspektorat karena mengajari dokter korupsi!!! Masak, kita dokter yang menjunjung tinggi harkat dan martabat profesi mulia ini diajari cara memanipulasi laporan, memark-up dana ini-itu, membuat laporan kegiatan fiktif oleh pegawai tata usaha tamatan SMA? Mereka dosanya double, karena mengajari orang-orang lugu seperti kita ini untuk KKN.” Bersemangat Amrullah bercerita.

” Nah, 2 bulan kemarin kan mereka kena batunya. Kami semua puskesmas selalu diwajibkan kasih laporan bagus-bagus saja. Imunisasi baik, pengobatan diare, TBC semua sesuai target. Sampai tiba-tiba ada balita dari wilayah kerja Puskesmas kabupaten kami masuk Rumah Sakit Umum dan ketahuan malnutrisi berat, kwasiorhor. Usianya 5 tahun, tetapi beratnya hanya 8,5 kilogram. Padahal, laporan gizi balita dari kabupatenku baik-baik saja, bahkan melebihi target. Akhirnya dari pusat turun tim surveillance ke desa asal balita tersebut. Ternyata, 98% anak dibawah usia 12 tahun di sana di bawah berat minimal. Makanya mulai sekarang dibalik, kasih laporan ke dinas yang jelek-jelek saja. Yang baik-baik tidak usah dilaporkan.” Amrullah bercerita puas banget. Karena masih pulang ke Ogan tiap week end, dia dan Ian sering bertemu.

Idealisme Amrullah berlanjut. Walau dia kepala Puskesmas, tapi karena jujur sepuluh betul, tabungannya belum sebanyak Ian. Dia menolak memberi sogokan ke petugas dinas kesehatan waktu pengaturan penempatan PTT. Makanya dia diletakkan di ujung dunia sana, istilahnya tempat jin buang anak. Masyarakatnya adalah transmigran yang lumayan gagal. Lahan di sana airnya payau, sehingga hasil buminya tidak tumbuh subur. Namun karena proyek transmigrasi itu sudah terlanjur cair dana pinjamannya dari Bank Dunia, terpaksalah sembarangan tempat dijadikan lokasi tanpa ada studi kelayakan. Masyarakat berobat membayari uang 5000 rupiah saja berat. Ada sih dana JPSBK (jaringan pengamanan sosial bidang kesehatan) 80 juta setahun untuk wilayah puskesmasnya. Tapi Amrullah benar-benar membelanjakan uang itu untuk masyarakat. Ibu hamil yang resiko tinggi tak punya uang dia sewakan speed boat 300 ribu untuk ke rumah sakit, bayi dan anak kurang gizi dia bagikan bubur dan susu. Semua hal ideal yang ada di buku petunjuk dia jalankan.

” Aku gak mau seperti Gatot. Dana JPSBK Puskesmasnya 160 juta setahun. Dia mark up semua. Ada ibu hamil yang hanya partus normal, dia laporkan ada tindakan vakum. Ada petani yang hanya tertusuk beling 2 sentimeter dia laporkan jahitannya 30 cm. Semua pasien miskin di wilayahnya dia obati pakai obat generik dari jatah Puskesmas, tapi dia laporkan pakai obat-obat paten yang mahal. Entah dari mana dia dapat faktur pembelian obat dan cap-capnya. Kongkalikong dengan PBF (perusahaan besar farmasi), kali, ya?” semangat cerita Amrullah membuat Ian terperangah. Pantesan si Gatot cepat sekali kaya. Mobilnya baru, dia nikah 6 bulan kemarin di hotel bintang 3 mewah sekali, padahal bapak Gatot hanya pensiunan kantor pos. Dan yang terpenting Gatot jadi dokter teladan 1 di kabupatennya. Padahal untuk jadi dokter teladan di Negara Gemah Ripah, ada harganya. Teladan 1 harus setor ke panitia 5 juta. Teladan dua setor 2 juta, sedangkan teladan 3 biasanya dicari dari dokter berdedikasi tinggi tetapi tidak sanggup nyogok, namun pengabdian dan pengorbanannya di ujung dunia sana ingin dihargai dinas.

Jadi, kalau ada pengumuman dokter teladan di suatu daerah, yang menjadi pertanyaan: SIAPA TELADAN KETIGA, NYA? Karena sebenarnya mereka itulah dokter teladan sesungguhnya di daerah tersebut, tetapi karena tidak mampu menyogok, terpaksa menjadi teladan 3.

” Makanya tawaran jadi teladan 3 aku tolak, akhirnya Rini Vandayani yang dapat. Masak aku jadi teladan 3, sementara Gatot si koruptor teladan 1. Maaf, ya. Aku biasa berkompetisi sehat, Yan. Tapi kalau teladan ditentukan pakai mahar. MAHAF, BAE!! Itulah sebabnya negara kita tidak maju-maju. Saat negara luar sudah canggih rekayasa genetika, negara kita baru bisa rekayasa JPSBK.” Geram Amrullah bercerita, Ian tersenyum kecut geleng-geleng kepala.

Tetapi yang benar-benar membuat kesal dan menyakitkan Amrullah, adalah kenyataan bahwa Si Gatot yang lebih dahulu sekolah mengambil spesialisasi OBGIN di FK Balayuda. Uangnya pasti cukup dan dia memang lumayan pintar. Masuk Kebidanan itu, minimal harus ada pegangan 800 juta, dan jika Gatot berani testing berarti dia sudah punya sejumlah itu. Amrullah dan Ian mendengar berita itu saling pandang dan tersenyum dua kali kecut. Ternyata teori kebaikan selalu akan menang itu bullshit!

”Hei, Mr. Clean dan Ian apa kabar?” Ian dan Amrullah terkejut. Juan datang ke Ogan, ngapain? Oh, iya sebagai pemberitahuan, Juan terkadang memanggil Amrullah Mr. Clean, karena dianggapnya orang paling suci di Ogan.

”Ngapain, ke sini Juan? Kabarnya sudah enak kau di klinik Pusat sana?” Ian penasaran bertanya.

”Cari sekolah Yan. Memang enak aku di puskesmas dan klinik di Pusat, tapi suatu hari aku lihat di televisi ada iklan layanan masyarakat dari Bang Rano, katanya kita tahu sekarang jaman sedang susah, tetapi jangan menyerah, semua anak..harus sekolah! AYO, SEKOLAH!! Aku sempat meneteskan air mata, dan bertekad memenuhi panggilan Bang Rano, makanya aku cari sekolah kemana-mana. Dan seperti biasa, Mr. Clean, setelah cari informasi di berbagai kota, ternyata di Universitas Balayuda inilah tetap yang paling murah. Sumpah! Di Pusat, kalau tidak punya 1 milyar untuk dihambur-hamburkan, jangan mimpi sekolah.” Juan cengengesan bercerita.

Akhirnya, mereka lanjutkan berkongkow-kongkow di rumah Ian, bertukar cerita ngalur ngidul pengalaman selama PTT, tapi Ian dan Amrullah lebih banyak menanyakan pengalaman PTT si Juan, karena ada ceritanya yang menghebohkan sampai masuk berita televisi dan koran segala.

Juan setamat FK, entah berurusan dengan dewa-dewa diatas yang mana, dapat ditempatkan di Puskesmas Pusat, padahal hanya anak-anak menteri saja yang biasanya bisa PTT di Pusat. Dia bertugas di Puskesmas Cibengkok, sebagai dokter ke 7. Ya, walaupun hanya puskesmas, dokter di tempat itu 7 dan semuanya hanya titipan saja. Anak-anak pejabat tinggi, istri anggota dewan, atau keponakan direktur BUMN terkemukalah, pokoknya ada hubungan dengan orang-orang penting.

Lalu sorenya Juan praktek di Klinik Global Internasional, klinik yang sebagian besar pengunjungnya expatriat, bayarannya dollar. Dia kali ini masuk di klinik tersebut dengan seleksi ketat. Tetapi yang meloloskan dia tentu saja keahliannya dalam bahasa Inggris aktif dan senyumnya yang charming dan walaupun belum ada pengakuan langsung, tetapi tampaknya dia ada affair juga dengan Missis Juliette, 34 tahun, pengelola klinik berkebangsaan Inggris, yang suaminya di Singapura.

Di Klinik elite itu Juan mau memakai obat apa saja bebas. Dengan peluang meresepkan obat sedemikian potensial, Juan menjadi idola perusahaan farmasi di wilayah Pusat, dan seperti biasa otak mesum, Juan selalu mendahulukan meresepkan obat dari farmasi yang rep (medical representatif) nya cewek cakep.

” Oke, Tik. Kita bahas nanti bioaviabilitas obat kamu di hotel Sahid saja, ya?” Senyum mesum Juan pada rep manis dan sexy itu. Bak gayung bersambut, mereka malam minggu berikutnya benar-benar check in di hotel. Mungkin belasan rep cewek pernah ML dengan Juan, dan kalau mereka tidak mau diajak jalan sama Juan, otomatis obatnya tidak diresepkan lagi. Untuk yang cowok, Juan mintanya mentah saja. Dr. Juan Pratama Putra, Bank SENTOSA, Pusat, Nomor rekening: 132 000 987, itu selalu isi SMS ke rep cowok yang ingin obatnya diresepin.

Selain rep, Juan juga sering kencan dan have fun dengan anak gaul bahkan selebritis yang menjadi member di sebuah tempat dugem terkenal di Pusat. Dan dari sinilah cerita skandal menghebohkan itu dimulai.

Ledy Priyanti, cewek 21 tahun adalah seorang bintang iklan yang baru ngetop satu tahun ini telah menjadi teman dugem Juan 2 bulan. Tetapi cewek ini, mungkin karena sudah merasa public figure, selalu menolak ketika diajak Juan ke arah yang lebih jauh. Sampai suatu saat, bagai mendapat durian runtuh, Ledy menghampiri Juan. ”Mas Juan, saya ada bonus nginap semalam dari production house di motel daerah Ancol. Temenin, ya? Saya mau curhat.”

”Oh, dengan senang hati, Ledy. I’m Yours!!!” Wuahhhh!! it’s so exicting! Dia boleh curhat sepuasnya padaku, aku bakalan cursper sepuasnya padanya, batin Juan. Akhirnya mereka masuk ke motel tersebut, ngobrol sebentar. Tetapi sewaktu Juan mau mulai memeluknya, Ledy mengelak, ”Sebentar, Mas. Saya ke kamar mandi dulu.”

Kejadian selanjutnya begitu cepat, Ledy ke kamar mandi, membuka pintunya, lalu tiba-tiba dari sana keluarlah 3 orang lelaki kekar, dua orang memiting Juan dan satu lainnya memukul kepalanya dengan stick softball yang mereka bawa dari rumah. Plak!Plak! Juan terkapar, kepalanya berdarah.

” Kok, dibunuh, Om. Kata Om dia hanya mau diperas saja.” Setengah terpekik Ledy memprotes tindakan paman kandungnya yang menjadi otak perampokan itu. Ya, rencananya uang hasil pemerasan itu untuk membayar hutang judi sang paman senilai 50 jutaan.

” Ah, sudahlah. Daripada pusing. Ayo, ambil semua.” ATM, uang, jam, cincin dan kalung Juan habis dijarah, lalu keempat orang itu pergi meninggalkan Juan yang tidak berkutik, hampir mati, tetapi dia belum mati. ATM tersebut sempat dipakai Johan, paman kandung Ledy belanja beberapa alat elektronik seharga 30 jutaan, tinggal gesek saja dan meniru tanda tangan Juan dibelakang ATM nya. Besoknya, barang-barang itu dan barang-barang rampokan lain dicairkan lagi di pasar gelap jadi uang tunai laku sekitar 45 jutaan.

Tanpa mereka sadari, Juan ditemukan pagi harinya oleh room boy motel tersebut dan langsung dirawat di ICCU Rumah Sakit Mediclass. Hari ke 5 Juan mulai sadar, diinterogasi polisi dan dengan segera Ledy, Johan paman Ledy, serta 2 komplotan lainnya ditangkap. Belakangan ibu Ledy, Nyonya Anne juga diciduk, karena yang menyusun semua rencana pemerasan yang berujung pada percobaan pembunuhan itu ide sang mama.

“Ledy bukan otak semua ini, dia hanya diperalat oleh Ibu dan Pamannya. Lagi pula semua ini mereka lakukan hanya untuk memberi pelajaran pada Dokter Juan, yang terkenal playboy, supaya jangan seenaknya mempermainkan wanita.” Mantap suara si Wisman SH, pengacara Ledy membela client-nya supaya jangan dikenakan hukuman maksimal. Juan merengut, kesal. Kok sempat-sempatnya dia sebagai korban dijelek-jelekkan? Tapi itulah pengacara, cari kelemahan lawan, dan sepertinya tuan Wisman mau menyakinkan hakim, bahwa Juan si dokter mesum memang patut dipukuli, dan karena dia tidak mati, berarti kasusnya secara lihay ingin diarahkan seolah-olah hanya pertengkaran romantika cinta anak muda dan keluarganya saja, yang tidak perlu dibesar-besarkan menjadi perampokan dan percobaan pembunuhan.

“Tugas kami para pengacara memang meringankan hukuman terdakwa, tugas si jaksa memberatkan hukuman terdakwa, tugas hakim menimbang unsur positif dan negatif tersebut, antara yin dan yang untuk mencapai equillibrium atau keseimbangan. Jadi kalau terdakwa kami buat bebas, bukan kami yang jahat, tapi salah si jaksanya yang goblok tidak bisa mencukupkan bukti dan saksi yang dapat meyakinkan hakim!” Demikian penjelasan Wisman, SH setiap masyarakat memprotesnya saat dia berhasil membebaskan para koruptor dari hukuman.

Ian lalu terkenang kalimat filosofis di depan ruang anatomi itu, mortui vivos docent. Yang hidup belajar dari yang mati. Dan karena Juan dalam kasus ini tidak mati, keluarga perampok itu belum jera, belum dapat pelajaran apa-apa. Di persidangan, tidak tampak sedikit pun ekspresi penyesalan di muka keluarga berdarah beku itu.

” Makanya, pengacara itu justru menyerang profil kamu, Juan dan mengarahkan seolah-olah client-nya melakukan itu semua karena kamu bajingan. Sidang kemarin sepertinya lebih mengarah menjadi sidang keplayboyan kamu, dibandingkan sidang upaya pembunuhan dan perampokan.” Amrullah berdakwah.

”Iya, sih. Makanya mulai saat itu aku mulai hati-hati urusan cewek.” Juan serius nih bicaranya.

” Kamu tidak ML lagi, Juan. Apa bisa kamu tobat? Kamu tahan?” Ian penasaran.

”Bukan begitu, mulai saat itu aku kalau mau ML dengan cewek, harus aku yang menentukan kamar hotel atau tempatnya. Aku tidak akan pernah mau mendatangi kamar yang memesannya cewek. Takut mati beneran, aku. Hehehehe...” Cengengesan lagi dia. Tapi kali ini Ian dan Amrullah tertawa bersama, sambil geleng-geleng kepala. Manusia yang hidup memang dapat belajar banyak dari yang mati, tapi jangan berharap belajar banyak dari orang yang hampir mati, apalagi orang itu si Juan.

Paman dan Ibu Ledy mendapat hukuman 4 dan 5 tahun, sedangkan Ledy yang dianggap diperalat saja hanya dikenakan satu setengah tahun, dipotong remisi lebaran, kelakuan baik dan lain-lain, akhirnya Ledy bebas 1 tahun kemudian.

Dan jaman memang sudah berubah. Bukannya menjadi musuh masyarakat, Ledy yang memang berbakat akting tinggi, begitu keluar dari penjara, langsung buat konferensi pers yang intinya menggambarkan dirinya sebagai korban pelecehan Juan, serta korban diperalat keluarga. Dan gilanya masyarakat jadi simpati, terutama aktivis wanita yang mendukung habis come back artis mantan napi tersebut. Tak sampai sebulan setelah bebas, Ledy langsung menjadi selebriti super sibuk, dia ada jadwal talk show ke semua infotainment yang ada di negeri Gemah Ripah. Dia juga mengisi seminar kewanitaan bertemakan: KEBERANIAN MELAWAN PELECEHAN SEKSUAL. Serta tentu saja langsung membintangi beberapa iklan layanan masyarakat, iklan obat nyamuk (di iklan ini Ledy digambarkan mengusir dan memukuli nyamuk yang diasosiasikan seperti cowok yang hobby mencium sana-sini, tetapi bersayap. Wah, nyindir Juan, nih), dan beberapa sinetron berbau action. Masuk penjara malah membuat Ledy lebih ngetop dibandingkan sebelumnya. Kacau!Kacau!

”Semestinya, aku yang tenar. Bukan kuntilanak itu.” Keluh Juan.

” Kamu tenar dan dia hancur bisa terjadi kalau kamu kemarin mati beneran. Tapi jujur saja, Juan, kami lebih senang kamu tidak tenar tapi tetap hidup, Juan.” Amrullah tertawa puas banget. Juan nyengir kuda.

”Iya. Enakan tetap hidup walaupun tidak terkenal, daripada ngetop tetapi mati. Lihatlah para pahlawan kemerdekaan Negeri Gemah Ripa ini. Yang gagah berani maju ke medan perang tanpa peduli jiwa raga, pasti sudah mati semua. Mereka dihargai dengan gelar pahlawan dan namanya diabadikan di jalan-jalan, tapi anak cucunya yang ditinggalkan tetap miskin. Yang sembunyi dan jaga diri baik-baik waktu perang, sampai saat ini belum mati-mati. Memang belum jadi pahlawan, tetapi anak cucunya sudah kaya dan ada jabatan semua. Kalau mereka toh nantinya melakukan korupsi, pasti dimaafkan mengingat jasa-jasanya bagi negara. Hehehehehe.” Tumben kali ini pendapat Juan agak berisi.

Juan menawarkan Ian dan Amrullah kalau selesai PTT, kerja di rumah sakit swasta di Pusat saja. Tamatan FK Balayuda cukup disegani di rumah sakit-rumah sakit Ibukota tersebut. ”Yang pasti alumni kita tidak takut melihat darah. Alumni FK lain, terutama FK swasta di timur ibu kota, pernah jadi bahan olok-olokan. Ada pasien kecelakaan lalulintas, kepalanya berdarah, kulitnya terkelupas. Begitu masuk UGD, dokter alumni FK swasta itu bukannya menenangkan keluarga pasien, malah dia yang pingsan. Keluarga pasien yang nyuruh dia tenang.”

” Memangnya mereka tidak pernah menangani kecelakaan waktu coass?” Ian penasaran.

” Mereka, kan jadi coass di rumah sakit swasta. Pasien di sana tidak mau sembarangan dijadiin kelinci percobaan. Jadi kerja mereka hanya mendampingi spesialisnya berkeliling merawat pasien. Nah, ini namanya icteric, ini namanya whezzing, nah, ini namanya murmur.” Dan seterusnya, pokoknya mendengar cerita Juan tentang alumni FK swasta, kami jadi geli sendiri. Sepertinya mereka belajar dari mengamati saja, tidak memegang pasien langsung. Bagaimana mereka bisa lulus?

” Saya punya teman namanya Joni. Dia waktu ujian negara tidak diluluskan oleh Profesor penyakit dalam di suatu rumah sakit negeri. Daripada dia ngulang lagi, Joni mendekati sekertaris si Profesor tadi, lalu kasih uang 1 juta. Dan nilainya yang tadinya D berubah jadi B. Si Profesor juga tanda tangan saja nilainya. Dia juga lupa itu nilai mahasiswa mana. Hehehe...” Juan asyik banget bercerita. ”Lagi pula mereka malah senang kok tidak memegang pasien langsung. Rata-rata kan anak-anak Pengusaha kaya atau pejabat korup yang terobsesi film emergency Room. Mereka pengen dihormati sebagai dokter, tetapi jijik melihat nanah, darah, air kecing, kotoran. Lucu!”

Amrullah terpingkal-pingkal membayangkannya, Ian juga ikut tertawa. Tapi Juan hanya tahu dokter dari FK Swasta yang ada di rumah sakit Pusat. Dia telah menggeneralisasikan semuan alumni FK swasta begitu. Padahal Ian ada teman dr. Ferry, alumni FK Swasta dari Kota Arek, yang bertugas di rumah sakit daerah di kabupaten yang sama dengan Ian PTT. Dia chinese yang sebenarnya pintar, tetapi tidak lulus UMPTN.

”Salah satu pamanku dari ibu pernah ikut aktif di partai komunis. Sampai sekarang aku tidak pernah dengar kabar tentang dia, kabarnya sudah dikarungi orang. Padahal jujur saja aku tak pernah ketemu dia, ibuku juga bertemu terakhir sama dia sewaktu belum menikah. Aku ada kenalan orang dalam di bagian komputerisasi seleksi UMPTN, nilaiku bagus, 590. Tetapi karena di data base Negeri Gemah Ripah ini ada tali merah antara namaku dan pamanku, apalagi aku sipit, maka kelulusanku digugurkan. Yah, kalau tak bisa dari jalur negeri, aku ke jalur swasta saja.” Yah, Ferry sudah maklum sekali menjadi orang yang terbuang. Bahkan, dia sejak SD sampai SMA pun tidak diterima di sekolah negeri.

Tapi Ferry selain pintar juga aktif di wihara kota Arek dalam pelayanan sosial. Dan walaupun bapak-ibunya hanya pembuat tahu kecil-kecilan, kepintaran dan kebaikan Ferry membuat salah satu pengusaha kaya di kota itu mau membiayainya sekolah di FK swasta. Dia tidak malas, dia tidak jijik melihat darah, bahkan sewaktu ada gempa bumi atau bencana alam dimana-mana di Negeri Gemah Ripah, Ferry selalu menjadi relawan. Dia seperti terobsesi membuktikan bahwa keluarganya tidak sehina dan seberkhianat seperti yang ada di data base negara.

” Itu satu diantara seribu, Yan. Spesial case. Dr. Ferry itu termasuk dokter sempurna karena terobsesi sesuatu. Yang lain kan enggak.” Juan berkilah tak mau kalah.

Ya, Itu percakapan di tahun 2005 akhir, saat Ian, Amrullah dan Juan sudah 3 tahun PTT dan boleh melanjutkan mengambil spesialisasi. Juan sudah punya tabungan sekitar 600 jutaan, Ian baru 200 jutaan, sedangkan Amrullah baru bisa menabung gajinya saja 34 bulan dikali 1,5 juta, berarti seratus juta pun tidak sampai. Bagaimana mau sekolah?

Juan sebenarnya ingin mengambil kebidanan dan penyakit kandungan, namun karena pernah ketiduran sambil merokok dan kasur di ruang coass cowok kebidanan kebakaran, makanya dia tidak lulus. Lucunya, waktu dia mau mendaftar ke bagian kebidanan, koordinator pendidikan di sana Dr. Mahmud, SPOG langsung menegur, “Hei, kamu coass yang hampir buat OBGIN kebakaran, kan? Mau daftar di sini? Gak usah mimpi, dik. Gak bakal mau kami ambil resiko mendidik kamu.” Gedubrakk!!! Bagai jatuh dari lantai 5 bangsal obgin itu Juan rasanya. Maka dengan berat hati dia pun mundur teratur lalu beralih mendaftar ke bagian penyakit dalam.

” Internal medicine is the mother of medicine....” Dan seterusnya, dan seterusnya pokoknya isi jawaban motivasi mengambil penyakit dalam dibuat Juan semunafik mungkin, sengecap mungkin, dipuja-pujinya penyakit dalam di FK Balayuda dan mejadi internist adalah cita-citanya sejak preklinik (padahal dia banting stir karena yakin tidak bakalan lulus di OBGIN).

“Calon spesialis itu harus panjang lidah. Kalau perlu, kita mengepel lantai rumah senior-senior kita pakai lidah kita yang panjang itu.” Dan Abrakadabra, Juan masuk penyakit dalam.

Ian juga ingin sekali masuk OBGIN, tetapi tabungannya baru 200 jutaan, menunggu 2- 3 tahun lagi, mungkin jumlah sumbangan juga naik lagi dan saingan lebih banyak lagi, karena sekarang OBGIN FK Balayuda lebih banyak peserta didiknya dari alumni swasta luar kota dari pada alumni sendiri, karena swasta kan rata-rata anak orang kaya. Alumni sendiri juga kalau modalnya seret, ngapain dididik.

”Sebenarnya, dik. Pendidikan spesialisasi itu buah simalakama. Ada misi luhurnya, menurunkan ilmu pengetahuan dan memperbesar kesempatan masyarakat menikmati pelayanan spesialis. Tetapi di sisi lain, yang kami didik ini bakal jadi saingan kami. Jangan-jangan nanti pasien kami diambil kalian pula. Maka dari itu kami ambil jalan tengah. Oke, kalian tetap kami didik.....Tetapi kami juga harus dapat kompensasi yang sesuai. Makanya bayaran kalian harus mahal. Wong anak TK saja bayarannya 1 juta sebulan, sumbangannya 25 juta.” Demikian penjelasan Dr Mahmud SpOG, dan semua pelamar manggut-manggut kuat-kuat, sampai ketombenya beterbangan semua. Kabarnya yang tidak manggut bakal tidak dilulusin.

Ian pun banting setir melamar ke bagian bedah. Di bagian ini agak unik. Uang sumbangan hanya butuh 25 juta, uang semesteran biasanya nanti ditanggung farmasi terutama yang menjual antibiotika mahal dan obat penahan nyeri. Di Bagian bedah lucunya nilai ujian masuk tidak terlalu diperhatikan, tetapi yang lain daripada yang lain, seluruh peserta ujian ditambah diuji di lapangan bola. Bagian Bedah FK Balayuda memang juara I sepak bola antar dokter bedah di negeri Gemah Ripah, karena kepala bedah sekarang sangat gila bola. Untuk klub dia pemuja Arsenal, untuk kesebelasan dunia dia penggemar brazil.

”Semua dokter itu pintar, tetapi apakah selama pendidikan kamu bisa dimanfaatkan dalam pertandingan liga dokter bedah nasional? Itu yang penting!” Ujar Dr. Najib SpBOrt sang komandan di bedah. Dan karena Ian lumayan pintar main bola. Luluslah dia jadi residen bedah.

” Selamat, ya, teman-teman.” Amrullah menyalami Ian dan Juan siang itu di kantin FK Balayuda, 26 Juni 2006. Suaranya tidak lepas, ada yang tertahan di tenggorokannya. Genggaman tangannya pun agak bergetar.

Ya, bagaimana tidak, dua teman dekat Amrullah itu dinyatakan lulus menjadi Peserta Pendidikan Dokter Spesialis tingkat I ( PPDS I) FK Balayuda pada jam 12 siang tadi, sementara Amrullah belum cukup uang untuk sekolah. Setelah menjabat tangan tersebut, dia pergi dengan langkah berat sekali. Inilah beratnya bersahabat sesama dokter, ada rasa bahagia, senang, tapi sekaligus irih, sedih dan sakit hati melihat sahabat-sahabat kita melanjutkan sekolah, sedangkan kita sendiri tidak. Rasa sakit itu bertambah menohok kalau teringat sebenarnya Amrullah lah yang nilainya cum laude (IPK 3, 58) diantara mereka bertiga.

Apakah artinya suatu cum laude? Tidak ada arti apa-apa, hanya keuntungannya dia tamat lebih cepat, itu saja. Tetapi tawaran menjadi dosen di FK Balayuda, tidak pernah ada (kabarnya formasi menjadi dosen adalah jatah anak dosen). Mendapat tempat tugas yang basah, tidak bisa juga (karena tempat basah hanya untuk yang punya memmo dan yang mau kasih uang upeti). Bisa cepat sekolah ambil spesialis? Lebih tidak logis lagi. Mau sekolah spesialis tanpa duit, mending pergi ke laut aja. Tapi kalau ada uang yang siap ditangan 1,5 milyar, kambing di kasih jas putih pun bisa tamat spesialis. Sampai sebegitu geramnya perumpamaan Amrullah.

”Cepat menyusul, Rull.” Terdengar teriakan Juan, Amrullah kembali tersadar dari lamunan, berpaling sesaat dan tersenyum, sampai akhirnya berjalan lagi ke ujung pagar, naik motor bututnya, pulang ke rumahnya, dan mencampakkan tubuh di kasur.

Menyusul sekolah dengan uang tabungan di bawah 100 juta? Sampai lebaran monyet tidak bakalan bisa. Amrullah tersenyum getir menertawai dirinya sendiri, lalu kembali melamun.....melamun...sampai akhirnya tertidur.

Mimpi yang indah Rull, mimpikanlah indahnya tinggal di Amerika atau Uni Eropa, yang dokter cum laude sepertimu jadi rebutan universitas seluruh negeri menjadi dosen, mendapat tawaran beasiswa dari semua yayasan dan semua spesialisasi menawarkan diri mendidikmu. Mimpilah puas-puas sampai ngences Rull, karena jika kau bangun nanti akan kau hadapi realita, bahwa gelar cum laude mu di sini hanyalah kertas sampah.

”Ahhhh........”.Amrullah mendesah dalam tidur, mungkin kantong spermanya sudah penuh hari itu (dia takut onani, takut dosa, jadi spermanya selalu keluar saat tidur), dia pun ejakulasi, mimpi basah. Dasar alim, mimpi basah pun yang dibayangkannya bukan bersenggama dengan pemain sinetron, malah mimpi melanjutkan sekolah. Gila nih anak.





BAB IV. SUKA DUKA RESIDENSI

”Wellcome to the jungle!” Lexy the spesial one menjabat tangan Ian pagi itu. “Akhirnya sekolah juga kamu.”

“Iya, lah. Cari duit dulu Lex, aku kan anak guru. Lain seperti kamu yang anak Profesor. Bisa langsung disekolahin orang tua.” Lexy tersenyum gak enak hati mendengar celotehan Ian. Si Lexy memang selalu berada di jalur bebas hambatan. Selesai dapat gelar dokter di Januari 2004, Lexy didaftarkan papanda yayang ke spesialisasi kebidanan dan penyakit kandungan dan langsung diterima. Uang bapaknya punya, kekuasaan bapaknya punya, dan akhirnya Juli 2004, Lexy resmi jadi residen OBGIN, sekarang sudah tahun ke 3. Tapi dia yang seharusnya semester 5, sekarang masih semester 3.

”Aku 3 kali kena skorsing, Yan. Dua kali kena 3 bulan, karena melakukan kuretase (mengosongkan isi rahim dengan alat) terlalu kuat, sampai jebol ke rongga perut sekali. Satu lagi waktu melakukan forceps (menarik kepala bayi dari dalam jalan lahir dengan alat seperti gunting), kena mata si bayi, sampai matanya lepas. Untung aku dibelain oleh konsulen-konsulen di OBGIN, kalau enggak aku bisa dikeluarin.” Lexy terdiam sejenak, sambil menghirup teh botol di kantin rumah sakit.

”Yang enam bulan?” Tanya Ian penasaran.

”Itu bukan kesalahanku. Chieft (dokter residen kepala jaga) waktu itu salah diagnosis. Ada pasien nyeri perut dikonsulkan oleh TS (teman sejawat) bagian penyakit dalam dengan dugaan kehamilan di luar rahim. Tapi karena dia mengantuk dan malas operasi, dia bilang saja tidak ada kelainan di bidang OBGIN. Terus si pasien oleh TS penyakit dalam tadi dirujuk ke spesialis OBGIN senior di rumah sakit swasta, dan karena keadaanya tambah gawat langsung saja dioperasi beliau dan ternyata eh ternyata, memang benar ada kehamilan di luar rahim yang membuat perdarahan masif. Nah, gawatnya, waktu diselidiki apakah benar kami sudah dikonsulkan oleh penyakit dalam, chieft kami itu ngotot kalau tidak pernah dikonsulkan dan dia mengancam kami semua tim jaganya supaya jangan buka mulut mengaku. Akhirnya, setelah semua bukti dikonfirmasikan, kesimpulannya memang benar chieft jaga kami yang salah dan karena kami tidak mau membuka mulut, maka seluruh tim jaga kena skor 6 bulan.Gila, kan? Karena senior berbohong, kami semua kena getahnya.” Mata Lexy agak memerah karena geram.

”Ngeri juga, ya. Kalau di bedah, ada skorsing sekejam itu, gak?” Tanya Ian.

”Perasaan belum ada lho, skorsing yang satu rombongan seperti kami. Siapa salah, dia yang menanggung akibatnya. Tidak seperti kami, di satu sisi, wright or wrong, they are our senior. Kalau kita ceritakan yang sebenarnya, kita dibilang tidak loyal. Tapi kalau kena 6 bulan begini, kan, lumayan juga uang semesterannya hilang, belum dihitung rugi waktu.” Sedih, deh Lexy. Perasaan Ian baru kali ini Lexy membentur tembok. Dia mungkin mudah saja masuk ke OBGIN, karena pengaruh papandanya yang pembantu dekan, dan uang sumbangan masuk yang lumayan besar. Tetapi kalau sudah di dalam, Prof. Mulyana tidak bisa bermain lagi. Kalau dia tidak setuju keputusan bagian OBGIN, boleh keluar.

Bagian OBGIN memang terkenal dengan skorsing yang kejam-kejam begitu. Tapi lucunya, jika yang terkena kasus anak-anak atau keluarga dari spesialis OBGIN yang ada di FK Balayuda, hanya dikenai kartu peringatan saja. Bagian bedah yang diikuti Ian tidak sadis-sadis amat. Skorsing hanya dilakukan kalau kesalahannya benar-benar fatal. Misalnya Mas Imam, anak semester 8 di bagian bedah, pernah kena 3 bulan karena meninju muka seorang coass yang tidak mau menjalankan perintahnya karena geram. Besoknya dia dipanggil kepala bagian, ternyata coass itu anaknya walikota Ogan. Rupanya sang walikota tidak terima anaknya dikasari dan dengan membawa pengacara dan permintaan visum segala, dia menuntut Mas Imam dikeluarkan.

Bagian bedah tidak mau kalah, kalau Mas Imam dikeluarkan, maka bagian bedah membubarkan diri dan melaporkan intervensi pemerintah dalam pendidikan itu sampai ke WHO, presiden, MPR, dan lain-lain. Walikota pun panik, akhirnya disepakati win-win solution, Mas Imam diskorsing 3 bulan dan membayar uang pengobatan fisik serta mental anak wako yang terluka sebanyak 25 juta. Luka fisiknya sih hanya memar-memar sedikit, dikompres juga hilang. Tetapi luka mental itu mahal, lho. Harganya 25 juta.

Ian yang lumayan pintar dan tekun belajar, mulus-mulus aja menjalani residensi di bedah, membuat Lexy yang agak tersendat di OBGIN suka dengannya. Karena mereka sama-sama jomblo dan hobby makan mi goreng sea food serta es rumput laut, setiap waktu istirahat kosong, mereka janjian di kantin. Pacaran? Sepertinya enggak. Lexy wanita kolot yang pantang menyatakan rasa suka duluan, sedangkan Ian termasuk lelaki yang sangat hormat pada wanita sehingga tidak sembarangan mengobral kata cinta.

”Anggap setiap wanita itu adikmu, atau ibumu. Nanti kau otomatis akan menghormati mereka.” Begitu prinsip hidup yang ditanamkan ustadz guru ngaji Ian. ”Membentuk komitmen dengan seorang wanita itu hanya dalam pernikahan. Bila 3 bulan lagi akan kunikahi, maka aku siap menyatakan cinta pada si wanita. Kalau masih belum siap mau menikahinya, jangan bicara cinta.”

” Jadi, kapan kamu siap menikah, Ian? Sudah ada calon?” Tanya Lexy setengah berharap, setengah was-was kalau-kalau pertanyaannya membuat Ian menjadi kikuk, malu dan akhirnya menjauh darinya.

” Ada, sih. Hehehehe... orangnya gak jauh-jauh, kok. Tapi aku akan menikahinya kalau aku sudah chieft saja. Biar istri dan anakku nanti tidak terlalu susah mesti menghormat-hormat pada senior. Ah....kira-kira dia ngerti enggak, ya?” Tanya Ian sambil senyum penuh makna matanya menerawang ke atas.

” Aku ngerti, kok, Yan.” Lexy keceplosan jawab. Padahal Ian tidak langsung bertanya pada Lexy. Terus pipinya memerah, malu. Hubungan mereka jika membahas cinta selalu menyertakan tokoh orang ketiga, tidak mau langsung berterus terang. Ian juga senyum malu-malu.

Dua mahluk dewasa, usia 28 dan 29 tahun, sama-sama tidak pernah pacaran, sama-sama kolot urusan komitmen, dan hampir pasti sama-sama masih suci itu sudah saling menyukai sejak sering bertemu 1,5 tahun ini. Dan hari inilah tanpa direncanakan, terungkap kalau mereka saling suka, tetapi tetap tidak mau meresmikan sebelum saatnya tiba.

” Hoi, kamu ketahuan...pacaran lagi...di kantin kita dengan teman baikku.......Hahahahahaha.” Juan si penjahat kelamin menyanyi keras-keras membuat semua yang ada di kantin tertawa atau minimal senyum dan mengalihkan pandangan ke pasangan yang sedang kasmaran itu. Pipi Ian dan Lexy yang tadinya merah jambu sudah terlalu merah, mungkin mirip ungu sekarang.

” Udah, santai saja temen-temen. Bercanda, tapi tenang Ian, minimal aku tahu Lexy sama you ada felling. Jadi aku enggak mendekati Lexy lagi. Benar, kan? Jangan seperti salah paham aku sama Amrullah waktu coass dulu terulang.” Juan terkekeh, Lexy sewot. ”Ih, Najis! Gue juga gak bakalan mau sama kamu Juan, entah berapa ribu cewek pernah kamu tiduri, emang aku mau jadi bak penampungan sampah juga!!!”

”Oke, peace, Lexy....Peace...don’t be sewot like that.....Omong-omong bagaimana kabar pasien yang kukonsulkan kemarin? Bener gak kista terpuntir?” Tanya Juan pada Lexy.

”Iya, nih. Bang Sahrul bilang pertama bukan kista ovarium terpuntir, katanya Appendicitis acute. Pasien terus dikirim ke bedah, terus kejadiannya bagaimana, Yan? Masalahnya yang menangani bukan tim jaga aku.” Lexy penasaran juga.

”Iya, kebetulan aku jaga semalam. Waktu dibuka oleh Bang Bakti, eh Appendix nona itu ukurannya normal, tidak ada tanda-tanda peradangan, untung dia dieksplorasi lagi, eh, keliatan ovariumnya berdungkul-dungkul seperti buah mengkudu. Langsung deh konsul diatas meja operasi dengan OBGIN lagi. Tahu, nggak. Bang Sahrul chieft jaga OBGIN yang biasanya nyantai, berlari pontang-panting masuk kamar operasi dan terpaksa si nona tadi mengalami 2 luka operasi, di perut kanan bawah untuk appendectomy (padahal appendix-nya normal) dan di tengah perut untuk operasi kistanya.” Semangat Ian cerita.

”Untung Bang Sahrul gentlement. Pagi tadi dia langsung menghadap kepala bagian OBGIN kami, mengakui kalau kejadian semalam kesalahan dia. Jadi, kalau begitu kan enak. Hanya dia yang kena hukuman, tidak seperti chieft aku waktu itu. Tega-teganya kami semua dibuat kena skorsing 6 bulan.”

Dokter Sahrul memang terkenal malas, tapi gentlement. Kalau menjawab konsultasi malam-malam saat dia ngantuk berat, pasti dibuatkannya jawaban konsultasi yang mengambang. Saat ini kelainan di bagian kami belum ditemukan, konsultasikan ulang ke poliklinik ginekologi 2 hari lagi. Saat ini kehamilan ektopik belum bisa disingkirkan, periksa Hb serial.......Saat ini kelainan ginekologis belum memerlukan perawatan khusus di tempat kami, silahkan perbaiki keadaan umum di tempat TS. Pokoknya, yang penting saat dia jaga, jangan terlalu banyak pasien merepotkannya.

Hebatnya, dia selama 6 semester pertama aman-aman saja, tetap berjalan mulus tanpa kasus sampai kejadian malam itu. Dokter Sahrul sang chieft OBGIN malas yang untouchable akhirnya kena batunya. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat pasti tidak akan pernah ikut olimpiade, karena dia tetap tupai, bukan atlit olimpiade. Hehehehehe.

” Sahrul, salah satu indikator keberhasilan rumah sakit adalah berapa persen pada apendektomi di rumah sakit itu didapatkan pemeriksaan patologi Appendix-nya normal. Semakin kecil persentasinya, semakin bagus. Nah, kasus kemarin menambah jumlah usus buntu yang dibuang padahal tidak ada tanda peradangan, yang dilakukan karena kesalahan diagnosis bagian OBGIN. Jadi, tadi pagi jam 8, saya diundang bagian bedah untuk membahas kasus ini di morning report mereka dan saya jadinya malu sekali. Kamu tetap dapat hukuman, walaupun saya akui lumayan salut kamu mau mengakui kesalahan ini sejak tadi malam, sehingga saya tadi di bagian bedah sudah siap-siap memberi jawaban diplomatis. Jadi malu saya tadi skalanya hanya sekitar 5. Kalau kamu tidak lapor semalam, skala malu saya pasti diatas 9 dan itu berarti kamu saya pecat!” Dokter Mahmud Sp.OG bicara pelan saja, tapi kata pecat membuat muka Dokter Sahrul pucat. Sudah 3 tahun di OBGIN, sudah sekitar 600-an juta uang keluar. Aduh kalau dipecat, habis.....benar-benar habis.

Alhasil Bang Sahrul kena skorsing 3 bulan. Bak pepatah tak ada gading yang tak retak, dia pun akhirnya kena kerikil juga. Lumayan pelajaran untuk manusia sesantai dan secuek dia. Malaikat pelindung yang selama ini selalu ada di pundak kanannya sesekali mungkin jalan-jalan juga ke kantin mencicipi es rumput laut kegemaran Ian, makanya dia terpeleset malam itu.

Kasus-kasus heboh seperti itu biasanya terjadi kalau melibatkan multidisiplin, dari bagian penyakit dalam dikonsulkan ke OBGIN, lalu dikirim ke bedah, terus setelah dioperasi orang bedah, ternyata kelainannya kasus OBGIN yang lucunya telah ditanyakan oleh bagian penyakit dalam. Entah inikah yang namanya lingkaran setan atau setan yang rajin menggambar lingkaran, setiap priode residensi selalu terulang kelalaian, kemalasan dan ketidakberuntungan yang sama.

Menjalani residensi tidak sesulit yang digambarkan senior-senior dahulu. Yang diceritakan biasanya bagian-bagian yang ekstrim-ekstrim biar kelihatan hebat dan para junior sungkan sekolah. Ian dua tahun ini jalannya mulus-mulus aja. Bedah dasar dia lulus tanpa cacat, setiap bagian di bedah di jalaninya sekarang tanpa masalah. Magang di ICU, di bagian anak, bagian digestif, bagian saraf malah dia lulus dengan nilai A. Menimbang hal tersebut Ian mulai memikirkan untuk serius membina hubungannya dengan Lexy. Lexy yang sabar menanti pun setuju, kalau 6 bulan lagi mereka menikah. Uang mas kawin berapa, adat yang dipakai adat mana, gedungnya apa, tanggal dan jam berapa, semua sudah mereka siapkan. Kebahagiaan keduanya sangat terlihat ketika akhirnya undangan mereka antarkan berdua secara langsung ke senior-senior , guru masing-masing bagian, serta ke teman-temannya di Rumah Sakit Balayuda.

”God save Ian!!” Setengah teriak Juan menyalami Ian, saat tahu sahabatnya itu mau menikahi Lexy. ”Kuliah mulus, percintaan mulus, hebat benar. Jarang ada residen sesukses kamu, Yan.”

”Datang, ya. Juan. Bawa si Nuri, ya?” Kata Ian tersenyum bangga dipuji si penjahat kelamin. Muka Juan langsung berubah meringis seperti kesakitan, dan coass cewek yang berjalan di sampingnya terlihat merengut.

”Ssssttttt...Ian, jangan sebut nama Nuri.” Bisik Juan pelan ke kuping Ian.” Ini kenalkan Lili.....sekarang dia magang di penyakit dalam, aku pembimbingnya. Kami sedang dekat sekarang.” Juan senyum, dek Lili senyum, Ian juga senyum kecut. Huhhhh...muka coass cewek itu lugu banget, kalau Ian tahu siapa bapak cewek itu, pasti diteleponnya hari ini supaya anak gadisnya dibelikan celana dalam besi yang ada kunci gemboknya dan hanya bapaknya yang pegang kuncinya, supaya aman.

Tapi who’s care? Malah Juan pernah bercerita, pernah dia tiduri coass yang kelihatan alim begitu, ternyata seperti macan di ranjang. Juan sudah kecapean mau istirahat, tapi si cewek tetap minta dilayani. Sampai pinggangnya sakit. Wah, kacau. Kebalikannya pernah ada coass yang bajunya sexy abis, dan ngomongnya porno-porno ngeres melulu, waktu dia rayu dan akhirnya bercumbu di kos-annya, ternyata masih perawan 100%. Jari kelingkingnya saja tidak bisa melewati kewanitaannya. Juan tidak berani tembus selaput darah coass itu, takut kualat.

”Kenapa tidak diterusin, Bang?” Tanya Ika si coass sexy. Pandangan matanya memelas, penuh harap, sudah pasrah.

“Kamu masih perawan, Ka? Kenapa tidak bilang-bilang? Gak usah diterusin, gak tega aku. Kuantar kamu pulang.” Juan mengantar Ika pulang, dan sejak itu dia tidak berani lagi mengajak cewek sesexy apapun have sex sebelum yakin dia sudah BLONG.

”Memerawani cewek yang alim, itu tantangan. Have sex dengan cewek yang pura-pura alim, padahal tak perawan lagi itu kemenangan. Making love dengan cewek sexy yang genit ditambah sudah tidak perawan, itu sudah makanan. Tetapi memerawani cewek sexy, genit yang belum pernah disentuh laki-laki, itu pantangan.” Itulah prinsip kehidupan seksual Juan yang sampai sekarang tidak pernah dimengerti oleh Ian, Amrullah bahkan mungkin oleh dokter konsultan seks Gaex el Toding sekalipun.

Juan sendiri lumayan pintar menjaga kelakuan di Bagian Penyakit Dalam. Selagi di lingkungan rumah sakit dia tanpa skandal. Kalau di luaran, ya bisa diakal-akalin,lah. Malah karena termasuk gemar teater sejak SD, Juan termasuk pemain andalan teater tradisional ABDUL MULUK MODERN yang menjadi ciri khas bagian penyakit dalam FK Balayuda. Kesenian itu mirip ludruk, lenong atau ketoprak di jawa, bercerita soal kerajaan, kepahlawanan, sayembara dan lain-lain, namun diplesetkan dengan guyonan khas kedokteran yang ngeres dan konyol. Mukanya yang manis dan mulus, serta tubuhnya yang ramping membuat peran Juan 2 tahun ini selalu menjadi hulubalang kerajaan tapi yang rada-rada banci.

”Ampun beribu ampun rajo.......Eke datang membawa kabar berita....Tuan ku puteri tatapannya akhir ini sendu......mata berair.....hidung berair...telinga berair...perutnya agak buncit.......dan mual-mual...” Gaya Juan kemayu lentak-lentik melenggak lenggok membuat penontot tertawa.

”Oh....cubo aku periksa dulu!!” Dokter Erni Majuni, yang memerankan dayang pemikat memeriksa si puteri yang diperankan dokter Melissa. ” Nah, rajo...ini puteri mungkin keno FLU BURUNG!!!”

Juan pemeran hulubalang banci mendekat lagi, ”Ah....bukan rajo.....lebih masuk akal menurut hamba puteri ini pasti kemasukan burung....yang lagi flu......” Geeeerrrrrr!!!!!! Penonton yang kebanyakan dokter dan paramedis tertawa, entah memang lucu, atau sekadar penghargaan kepada teman sejawat yang berani mempermalukan diri sendiri melakukan adegan konyol seperti tadi.

Kelihatannya kelompok abdul muluk itu cukup bagus juga, ini bisa dilihat seringnya mereka diundang oleh instansi lain di luar kedokteran untuk mengisi di acara resepsi mereka. Bahkan ada yang sudah berani membayar 25 juta untuk pementasan sekitar 45 menit. ”Ya, jarang-jarang ada dokter bisa buat parodi dan komedi menggunakan kesenian tradisional seperti ini. Selain menghibur, kami juga bangga memelihara budaya daerah. Dibandingkan tahun lalu, kami mengundang diva dari Pusat Kharismayanti. Tarif untuk menyanyikan 5 lagu 75 juta, terus kami harus siapkan 2 kamar hotel de luxe untuk dia, suami , anak-anaknya dan babby sitter. Belum lagi ticket pesawat harus yang bisnis, terus makanannya harus yang ini-itu dan kamar hotelnya di-screening dulu apakah ada hidden camera, ribet banget!” Curhat si panitia acara tersebut.

Enaknya bagian penyakit dalam dibandingkan bedah dan OBGIN adalah pola hukumannya lebih mendidik. Bila ada kesalahan dilakukan anak didik, maka kesalahan itu dibahas mendetail berupa studi kasus. Akan dianalisis kesalahan itu karena kelalaian, ketidaktahuan, kesalahan sistem, kecapean, atau sesuatu yang di luar perkiraan.

Jika toh kesalahaan itu karena human error, hukumannya berupa pembuatan makalah yang membahas kasus tersebut, jadi tambah sering seseorang residen membuat kesalahan dia tambah sering membuat makalah. Kalau si residen rajin menyelesaikan tugas, dia no problem diberi tugas sebanyak apapun, dia pasti akan tamat tepat waktu. Namun jika si residen malas dan membiarkan tugasnya menumpuk, niscaya dia akan tamat lebih 6 tahun.

Skorsing di bagian penyakit dalam hanya untuk kejadian yang luar biasa saja. Seperti yang dialami Medy senior Juan yang ahli komputer. Setiap ada acara ilmiah, Medy pasti ditunjuk menjadi sekertariat dan penanggung jawab slide counter. Namun saat ada Pertemuan Ilmiah Nasional Penyakit Dalam (PIN PDL) di kota Ogan terjadilah tragedi menghebohkan itu. Slide yang dipresentasikan Profesor Warsowo ternyata ada yang hilang, dari 30 slide yang dipresentasikannya, ada 6 slide yang hilang dan gawatnya ke 6 slide itulah bagian penting hasil penelitiannya 3 tahun. Profesor Warsowo marah besar, dan kebetulan sejak pagi hanya Medy yang terlihat dekat dengan lap top untuk presentasi.

Sehari setelah acara PIN PDL, Medy dipanggil oleh kepala bagian penyakit dalam, Prof Gunadi Alwi.” Medy, ini fax baru datang tadi pagi dari Pusat. Isinya singkat: HARAP DIBERI SANKSI TEGAS PESERTA DIDIK YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KEKACAUAN SLIDE PRESENTASI PROFESOR WARSOWO. No excuse. Kamu penanggung jawab slide counter, kamu saya skorsing 3 bulan tidak boleh pegang pasien. Sekarang, silahkan keluar.” Brukk!!! Dokter Medy masih berjalan tegak walau pelan, tapi hatinya ambruk. Selama ini karena keahliannya di bidang komputer, dia menjadi bintang untuk bidang ilmiah. Semua makalah ilmiah yang terbaru bisa dia dapatkan lewat internet, bahkan yang meminta password tertentu pun bisa dia lewati.

Semua konsulen (dokter yang sudah mendalami sub spesialisasi, satu tahap diatas spesialis) pasti pernah dibantunya mendapatkan literatur, bahkan text book yang mahal-mahal (2-20 juta per buku) kadang-kadang dapat di aksesnya. Hanya dengan modal 1-2 jam di depan komputer, dia bisa dapat 2-3 bab yang diinginkan dari text book mahal. Prinsipnya kalau memang hanya butuh 2-3 alinea atau bab, kenapa harus beli semua buku?

Alhasil, jika konsulen tertentu berbicara tentang suatu penyakit di simposium dengan menggunakan temuan-temuan terbaru, banyak residen mesem-mesem saling pandang. Sebenarnya itu makalah dia , atau makalah si Medy?

Ditambah keterampilan dalam pemeriksaan fisik dan tehnik mendiagnosis yang baik, Medy menjalani residensi di penyakit dalam praktis tanpa kendala. Wajarlah kalau semua konsulen sayang padanya dan tidak akan mungkin memberikan hukuman pada kasus-kasus yang biasa. Tetapi untuk kasus ini semua konsulen angkat tangan, perintah pemberian sanksi dari Pusat, mana tahan?

Sampai sekarang dokter Medy tidak mau bicara, apa benar dia yang mengutak-atik slide Prof. Warsowo atau bukan. ”Saya penanggung jawab slide counter. Kalau saya bisa membuktikan bukan saya yang utak-atik slide itu tetapi orang lain, apakah itu akan mengubah skorsing saya? Tidak, kan? Karena saya gagal menjaga amanat orang maka saya memang wajib dihukum.”

Namun karena dianggap dokter Medy hanya mengalami sejenis kecelakaan kerja. Skorsing 3 bulan itu justru diarahkan para konsulen untuk mematangkan tugas-tugas ilmiah dan penelitian Medy untuk ke depan. Jadi, begitu dia selesai skorsing, satu bulan setelah itu Medy langsung menyelesaikan semua kewajiban ilmiahnya. Jadi walaupun kena skorsing, Medy justru tamat tepat waktu.

Skorsing yang benar-benar apes dialami oleh dokter Ongky. Dia 2 semester diatas Juan. Istri Ongky bekerja sebagai pengusaha bunga di Pulau Pinang, yang berjarak 4 jam dari Ogan (kalau naik kapal jet foil). Karena usahanya maju, istrinya tidak mau pindah ke Ogan, hanya Ongky yang setiap akhir pekan dibela-belainnya pulang ke Pulau Pinang untuk menunaikan kewajiban biologisnya. Tragedi itu terjadi di hari Jumat, yang kebetulan hari Sabtu besoknya libur. Berhubung Jet foil ada yang berangkat pukul 9 pagi, Ongky sudah minggat dari rumah sakit pukul 8.15.

Sampai pukul 10.20 sih aman-aman saja, apalagi hari Jumat juga pulangnya pukul 12.00 siang, tetapi kemudian saat Dr. Etty, konsulen penyakit dalam visite pasiennya di ruang kelas II, salah satu pasien Ongky yang menderita batu ginjal meraung-raung kesakitan dan tempat tidurnya bersebelahan dengan pasien Dr. Etty.”Suster, pasien siapa itu?” Tanyanya sekali lewat ke perawat pendamping visite nya.

”Pasien dokter Ongky, dok.” jawab si perawat.

”Panggil dokter Ongky, pasiennya sedang kolik (nyeri perut), tuh!” Sambil menulis status pasien, Dr. Etty menunggui Ongky.

”Maaf, dok, semua ruangan sudah ditelpon dokter Ongky tidak ada. Bahkan HP nya pun tidak bisa dihubungi.” Perawat tadi tergopoh-gopoh melapor.

Yah, apa boleh buat. Mungkin saat dihubungi Ongky sedang di atas kapal, membayangkan saat-saat romantis dengan istri tercinta. Tapi sesampainya di Pulau Pinang pukul 13.15, sebegitu sinyal masuk, HP Ongky menerima belasan SMS dari residen penyakit dalam. GAWAT, KI. DOKTER ETTY TAU KAMU MINGGAT; ONGKY KAMU DISURUH MENGHADAP KEPALA BAGIAN SENIN PAGI; ONGKI DOKTER ETTY MELAPORKAN KAMU KE KEPALA BAGIAN KARENA MINGGAT; ONGKI, NEKAT KAMU, DOKTER ETTY MARAH BESAR. Ongki terduduk lemas di mobil taxi yang mau membawa dia ke rumah. Ya, bisa dipastikan saat-saat romantis bersama istri yang dihayalkan Ongky di kapal tadi akan gagal total. Lha, kalau depresi seperti ini, gimana bisa ereksi?

Ongky kena skorsing 6 bulan. Ini bukan kasus kelalaian, bukan pula kasus kekurangtahuan, kurang pengalaman, kurang skill, ini kasus ketidakdisiplinan yang membahayakan nyawa pasien, kalau bukan karena kasihan, pasti dia sudah dikeluarkan dia. Ongky minggat tanpa menitipkan kepada satupun rekannya, padahal pasiennya masih dalam keadaan emergency case.

Mortui vivos docent, manusia yang hidup belajar dari yang mati. Tapi bagi dokter Ongky, malam itu organ vitalnya tidak bisa hidup, karena dia meninggalkan pasiennya yang kesakitan setengah mati. Ternyata, masih terpakai juga ternyata semboyan anatomi itu kalau dicocok-cocokkan, ya?



V. MORTUI VIVOS DOCENT: SEMUA PAHLAWAN HARUS MORTUI ?



Juan memang menjalani pendidikan mulus-mulus saja di penyakit dalam, tetapi dia masih iri juga dengan Ian karena sobatnya itu akhirnya menikahi Lexy. Ian sanggup dan berani membentuk sebuah keluarga, sebuah komitmen.

Kesempurnaan pencapaian seseorang laki-laki adalah saat dia memiliki keluarga, memiliki komitmen yang legal dan sekaligus sakral. Juan tidak siap berkomitmen. Wanita masih dia anggap alat rekreasi, just for having fun, untuk buang-buang stress. Yang gilanya banyak pula wanita yang manis, sexy tetapi tidak suka komitmen juga. Wah, klop banget.

”Selamat Ian, Lexy. Tenang, Lexy....Ian tidak mungkin mengganggu wanita lain. Yang mungkin, wanita lain mengganggu Ian. Dan kalau itu terjadi, kasih tahu aku, biar wanita yang mengganggu Ian itu aku gangguin juga. Hehehehe...” Juan terkekeh, Ian tertawa kecil, Lexy tersenyum dibuat-buat. Dia sebenarnya benci benar dengan si penjahat kelamin ini, tetapi tamu di pesta pernikahan harus tetap dihormati, toh?

”Upsss!!! Ada apa ini?” Ian terloncat kaget. Hotel Corazon tempat resepsi pernikahan terasa bergoyang, tidak terlalu keras, tetapi 1 menit itu sempat membuat tamu panik.

”Mohon perhatian. Harap tenang. Hadirin hotel Corazon yang terhormat, gempa yang kita alami tadi pusatnya di perairan selat Lubuk, dekat Pulau Lubuk Jero, letaknya 300 kilometer dari Kota Ogan. Sudah dikonfirmasi ke pihak berwenang, gempa tersebut tidak berbahaya untuk kota Ogan. Jadi, kondisi hotel saat ini aman. Acara tetap dapat dilaksanakan.” Informasi dari pihak hotel membuat tamu tenang dan melanjutkan acara.

Yah, memang kalau dokter menikah dengan dokter yang bapaknya dokter juga, maka tidak usah mengundang tarian atau penyanyi terkenal, deh, karena dapat dipastikan acara itu menjadi ajang reuni temu kangen para teman sejawat yang sudah lama tidak berjumpa. Ngobrol-ngobrol saja sudah bahagia banget dengan teman lama.

Malam pertama Ian dan Lexy berjalan mulus-mulus saja. Tetapi walau tersenyum sayang memeluk istrinya itu tetapi ada kerutan di kening Ian yang terlihat di mata Lexy.

”Ada apa, pa?” tanya Lexy yang mulai malam itu belajar memanggil Ian papa.

”Entahlah. Seperti ada perasaan tidak enak...Entah apa...Ups.....apa ini?” Ian terkaget lagi, tempat tidur mereka bergoyang. Lexy juga panik. Kali ini agak lama, sekitar 3 menit.

”Buka TV, ma!!” szzzt..TV dibuka, dan hampir seluruh channel televisi nasional membahas gempa dan tsunami di Pulau Lubuk Jero. Yang membuat heboh adalah gempa sebenarnya sudah terjadi kemarin dengan skala 6,2 Richter. Karena itu tadi pagi saat Ian dan Lexy akad nikah, para wartawan semua media datang ke pulau Lubuk Jero untuk meliput.

Yang di luar kebiasaan, tadi malam saat Ian dan Lexy resepsi, terjadi gempa susulan yang lebih kuat (biasanya gempa susulan lebih lemah) 7,9 skala Richter berikut tsunami yang menghancurkan peralatan peliputan channel TV yang kebetulan bermarkas dekat pantai. Malahan satu reporter flaTV meninggal karena tertimpa tiang tendanya saat tertidur. Puncaknya subuh itu, pukul 00.37, gempa susulan (atau malah sebenarnya gempa utama, yang sebelumnya gempa pendahuluan) yang membuat ranjang Ian bergoyang hebat padahal mereka sudah istirahat, berkekuatan 8,6 skala Richter. Tsunami yang terjadi lebih besar, tetapi masyarakat sudah dievakuasi dengan baik.

”Amrullah! Iya, itu daerah puskesmasnya Amrullah!” Ian setengah meloncat turun dari tempat tidur , masih telanjang bulat. Pantas ada rasa tidak enak di hati Ian. Dia tidak teringat Amrullah sewaktu membuat undangan pernikahannya. Mungkin karena memang dia jarang mau bertemu Ian sejak dia jadi residen (mungkin dia minder kali,ya). Tetapi itu juga dikarenakan undangan jatah untuk Ian terbatas, dari 500 undangan, keluarga Ian hanya diberikan 150, sisanya untuk keluarga Lexy (semua biaya pesta ditanggung oleh Prof. Mulyana, makanya lebih banyak undangan untuk dia).

Untuk keluarga besar bagian bedah saja, sudah terpakai 98 undangan, belum keluarga inti Ian yang lain, makanya nama Amrullah tidak ada di daftarnya. Padahal Amrullah adalah teman belajarnya sejak SMA dan kuliah. Dia belum tentu bisa mencapai apa yang dia dapatkan sekarang kalau tidak karena Amrullah.

Berkali-kali dicoba hubungi HP nya, tak ada jawaban. Daerah itu hanya ada satu operator seluler yang berani pasang tower. Itu pun karena regional manager seluler itu putera asli Pulau Lubuk Jero. Dan tampaknya, tower itu pun roboh. Akhirnya Ian berbulan madu tidak tenang, sampai akhirnya 3 hari kemudian tampak wajah Amrullah diwawancarai oleh salah satu TV swasta mengenai penanganan pasca gempa, HATI Ian menjadi lega.

” Korban yang meninggal sekitar 54 orang, tetapi yang bermasalah korban yang luka-luka ringan sampai berat ada sekitar 500-an orang. Belum lagi yang sakit akibat ISPA, diare, hipertensi, jantung. Tenaga dokter dari dalam negeri hanya saya dan dokter Bram dari Pusat. Sementara dari tentara bela diri Jepang ada 5 dokter, dari Australia 3 dokter, serta dari Bulan sabit merah Arab saudi 4 orang.” Amrullah menjelaskan terperinci dengan serius, terlihat gurat keletihan di wajahnya, dan sepertinya dia tidak bercukur beberapa hari membuat mukanya kusam banget.

”Dokter dalam negeri kok hanya dua orang?” Tanya si reporter penasaran.

”Sebenarnya pada hari pertama gempa ada 18 dokter dari berbagai provinsi di Gemah Ripah yang datang membantu, tetapi setelah malamnya ada gempa yang lebih kuat yang menewaskan salah satu reporter serta mencederai 3 paramedis dari pusat, semua memutuskan pulang. Mereka hanya mau datang kembali jika situasi diyakini aman. Sedangkan dokter dan paramedis dari luar negeri ada yang tentara, tapi yang sipil juga seperti dari Arab Saudi sudah siap mati syahid membantu orang disini.”

Wajarlah, wartawan yang berani tinggal di Pulau Lubuk Jero juga hanya wartawan perang. Wartawan reportase biasa, semua pulang. Hanya beberapa televisi yang punya wartawan nekad yang masih bermarkas di pulau itu sejak meninggalnya reporter pada gempa besar terakhir. Apalagi setiap hari selalu ada gempa-gempa kecil tapi di bawah 5 skala Richter.

Wawancara tersebut menyedihkan, mengharukan, sekaligus membuat geram. Tim medis luar negeri lebih siap mati membantu korban gempa dibandingkan tim dalam negeri. Wajar, tapi tetap menggemaskan. Ian jadinya ingin pergi jadi relawan, tetapi dicegah Lexy.

”Aku tidak mau jadi janda kembang, pa. Setidaknya kamu pastikan aku hamil dulu, baru kamu pergi menyabung nyawa di sana. Minimal ada satu anak yang kamu wariskan untuk aku kenang.” katanya memelas, agak manyun. Ya, sudah. Luluhlah semangat juang Ian mau membantu Amrullah. Apalagi si istri minta dihamili.......Ya,ya,ya....

Tiga minggu berlalu, berita tentang gempa di Lubuk Jero sudah tidak menghebohkan lagi. Orang tahu gempa susulan 4-6 skala Richter hampir 2 hari sekali masih terjadi. Orang mendengar tenaga medis disana tetap minim (walau ada 15 tambahan dokter lagi dari dalam negeri yang akhirnya membantu, tetapi tim medis luar negeri pulang setelah 2 minggu bertugas dan tidak ada pengganti. Alasan resmi mereka, karena mengganggap keadaan sudah terkendali, tetapi yang sebenarnya mereka termasuk kecewa dengan dokter-dokter dalam negeri Gemah Ripah yang bermental tahu-tempe menolong sesama. Mungkin mereka pergi supaya dokter-dokter pribumi tidak terlalu manja, kali ya?). Orang juga tahu bahwa yang meninggal di daerah bencana sekarang justru karena penyakit infeksi susulan, bukan karena trauma lagi.

Orang mengerti tragedi kemanusiaan masih terjadi di sana, tetapi sekarang masyarakat tidak terlalu peduli lagi pada pulau yang terisolir itu. Stasiun TV yang siaran langsung juga tinggal satu, itu pun karena mereka TV spesialis berita. TV lain sudah mengalihkan perhatiannya ke kasus aktor senior Boy Franklin yang kembali tersandung kasus narkoba. Ada juga berita politik merebaknya video mesum Yaken Nadeh seorang anggota Dewan Rakyat Pusat yang kebetulan mengepalai komisi kerohanian dewan dengan pemain film panas Nichitta Kashimura si blasteran Gemah Ripa-Jepang, yang diambil dari rekaman HP.

Menurut gosip yang beredar, Nichtita memiliki belasan klip yang berisi adegan ranjangnya dengan belasan orang-orang penting di Pusat. Tetapi semua orang itu sanggup membayar uang tutup mulut bulanan pada Nichitta, tetapi pak Yaken nadeh ternyata gak kuat bayar lagi. Enam bulan dia diingatkan Nichitta, tetap tidak mau nyetor, akhirnya release lah film panas mereka di internet. Bisa dilihat di www.Yakenadeh-Nichitta.com.

Masyarakat perlu sesuatu yang baru, sesuatu yang bombastis, mencengangkan, heboh. Dan..... kalaupun memang gempa di Pulau Lubuk Jero 3 minggu lalu itu mau tetap diperhatikan, harus ada sesuatu yang baru dari sana yang lebih mengharukan. Kalau tidak ada, maka masyarakat tidak akan peduli. Ampun deh masyarakat ini, tega banget mereka.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba berita bombastis itu akhirnya datang juga. Semua berita politik, skandal artis, naiknya harga minyak, rontoknya bursa saham, perang di timur tengah tersingkirkan dari berita utama halaman depan media cetak dan media layar kaca oleh sebuah berita baru yang menyayat dari Pulau Lubuk Jero: PIMPINAN PUSKESMAS DAERAH GEMPA KOLAPS!!!

Ya, dokter Amrullah, yang tamatan cum laude FK Balayuda tetapi tidak ditawari jadi dosen, yang terdampar di pulau terisolir karena tak punya memmo. Dokter cerdas yang tidak bisa melanjutkan spesialisasi karena tidak dapat menabung banyak mengingat pulau tersebut daerah transmigrasi yang gagal. Dia yang tiga minggu ini kurang istirahat, kurang gizi.......akhirnya terkapar. Kesadarannya menurun sejak pagi, demamnya 41,2 derajad celcius, pernafasannya 32 kali permenit, nadinya cepat dan matanya mulai kuning, dan dia mulai sulit kencing.

Yah, si Mr. Clean Amrullah menemukan kebahagiaan tersendiri dalam 3 minggu paska gempa ini. Dia semakin merasa dirinya berarti, lebih berharga. Dokter lain dapat saja profesor, doktor, konsultan, spesialis, master, tetapi masyarakat korban gempa ini tidak perlu gelar.....Mereka hanya perlu pertolongan dari siapapun yang tersisa di pulau, tak peduli hebatnya keahlian sang dokter yang penting kecemasan, rasa ditinggalkan itu hilang.

Ditambah lagi semangat yang diberikan langsung oleh Bapak Presiden Gemah Ripah saat datang ke Pulau Lubuk Kerto di hari ke 2 gempa, ” Semua instansi, semua aparat, kalau perlu jangan tidur seminggu selama rakyatnya menderita. Selamat berjuang dokter Amrullah dan dokter Bram, saat ini hanya kalian berdua dokter Gemah Ripah yang tersisa tanpa pamrih berjuang di pulau ini. Jangan tinggalkan rakyat saat ini. Ini bukan lagi pengabdian, anggaplah ini perang syahid kalian. Bagi saya, kalian berdua adalah pahlawan Republik Gemah Ripah yang hidup. Doa saya selalu untuk kalian...”

Bapak presiden menyalami Amrullah, dokter Bram dan tim medis negara lain dengan erat. Dan Amrullah pun tambah semangat melayani korban gempa sepenuh hati. Dia tak pernah dapat piagam dokter teladan (karena tidak bersedia nyogok untuk itu), dia tidak ada serifikat spesialis, tetapi bapak presiden secara langsung menyebut dia pahlawan, tak terasa menetes airmata bahagia di pipi Amrullah.

Dia lulus cum laude pun hanya disalami rektor formalitas dan diberikan pena parker 2 buah. Tapi disebut pahlawan oleh presiden adalah sejarah. Nikmatnya seperti 1000 kali mimpi basah.

Amrullah seperti terobsesi dengan kata-kata presiden itu. Dia tidak cukup istirahat dan makan 3 minggu ini (makanan bergizi jatah dokter yang disiapkan dapur khusus untuk medis selalu diberikannya pada pasien yang membutuhkan, dia merasa cukup makan mi instant saja). Sanitasi daerah itu yang buruk dan kurang pedulinya Amrullah pada perlindungan penyakit, seperti memakai masker atau pakai handscoen (sarung tangan bedah), membuat Amrullah demam sejak 3 hari yang lalu, tetapi dia masih menganggapnya kecapean saja.

Tetapi hari ke 5 demam dia kolaps. Sebuah helikopter diperintahkan langsung oleh presiden untuk mengevakuasi Amrullah ke Rumah Sakit Umum Kota Ogan. Syock SEPSIS et causa pneumonia typical, begitulah diagnosis kerja spesialis penyakit dalam yang menerimanya di bagian resusitasi UGD (unit gawat darurat). Rawat ICU (intensif care unit)!!!

Sebelas responden televisi dalam negeri ditambah 3 dari luar negeri (jepang, australia dan singapura) meliput brangkar tempat Amrullah terkulai tersengal-sengal dipindahkan dari UGD ke ICU. Kalau di televisi, siaran adegan itu terlihat dahsyat dan bombastis, dibuat slow motion....Masyarakat yang menonton banyak yang terisak-isak menangis. Bagaimana tidak, seorang dokter yang masih muda, 32 tahunan, masih bujangan pula, cukup ganteng, berjuang melayani masyarakat korban gempa yang terlupakan media masa 3 minggu ini, akhirnya sekarat tertular penyakit di daerah gempa yang terisolir itu.

Tapi tangisan haru inilah jualannya, tayangan sinetron seglamour apa pun kalah ratingnya dengan siaran langsung tentang dokter Amrullah. Sesak nafasnya, kuningnya mata kuyuh Amrullah, biru keringnya bibir si dokter jomblo muda lebih menarik hati dibandingkan artis centil sexy dan aktor ganteng serial remaja yang sedang booming saat itu. Amrullah lebih tenar dari selebritis mana pun selama 3 hari di ICU. Ya, benar, hanya 3 hari di ICU.

”Bertahan Rull. Kamu kan belum kawin.....nanti kukenalkan cewek yang macan di ranjang nemenin kamu, deh.” Bisik Juan ke telinga Amrullah di hari ke 2 ICU. Amrullah setengah sadar setengah tidak tersenyum kecut, kesadarannya memang menurun menjadi somnolent. Sudah sekarat pun dia, si penjahat kelamin ini masih ngomongin sex, gak sopan. Juan yang residen penyakit dalam sudah dua hari memang tidak pulang ke kosannya, dia menjagai Amrullah 24 jam di ICU entah karena kesadaran sendiri atau karena diminta semua teman sealmamater karena penyakit Amrullah adalah kasus penyakit dalam.

”Rull. Ini istriku Lexy, maaf kemarin undanganku terbatas.....Tadinya aku mau mengundang kamu khusus makan malam dengan sahabat seangkatan yang lain merayakan pernikahan kami, cepat sembuh Rull. Kita buat reuni nanti...” Bisik Ian, kali ini Amrullah senyum bahagia.........dia dengar, sahabatnya sejak SMA datang....semangat, Rull, semangat.

”Kuat, Rull......” , ”Kalahkan sepsis, Rull.....”, ”Aku juga masih sendiri, Mas....cepat sembuh...”, ”Nanti kalau sembuh kerja di klinikku aja, Rull, pasiennya banyak.....Tinggalkanlah pulau miskin itu.” Dan lain-lain itulah bisikan teman sejawat yang membesuk bergiliran dua hari pertama di ICU. Semua berlinang air mata bahkan ada yang terisak-isak. Semua peduli, bahkan yang jauh-jauh sengaja datang ke kota Ogan begitu melihat berita di seluruh media mengekspos berita Amrullah.

Ini adalah sejarah, dan semua ingin ambil bagian dalam sejarah (belakangan televisi swasta yang mengulas panjang lebar kolapsnya dokter Amrullah bersama riwayat hidupnya, memenangkan PANORAMIC AWARD tahun itu kategori film dokumenter). Seperti Henky Aritonang datang dari kabupatennya, dan di depan media massa di depan ICU bikin orasi memprotes kurangnya penghargaan terhadap dokter di tempat terpencil. Dasar pendemo, dimana pun, kapan pun pasti bikin protes. Tapi kali ini dia protes tidak berapi-api, tapi terisak-isak sesungukan.

Yang mengherankan, ketika Purwanto datang dari ujung timur Negeri Gemah Ripah, kabarnya dia jadi kepala dinas pekerjaan umum di sana. ”Cepat sembuh, Rull. Kubangunkan kamu rumah setelah kamu sehat, teman-teman sudah kumpulkan sumbangan cukup untuk buatkan kamu rumah, biar aku yang mendesain dan menjadikannya. Bertahan,ya?” Amrullah yang tersengal-sengal, sedikit membuka mata dan senyum, tapi senyuman meringis........waduh, bangun jembatan aja sering roboh padahal tidak ada gempa di saat itu, apalagi mau bangunkan Amrullah rumah di pulau yang kaya gempa? Ada-ada aja Mas Pur.....Mas Pur.....

Luar biasa, ternyata Purwanto yang hanya 2 semester bertemu Amrullah di FK Balayuda juga tergerak datang. Bisa jadi itu ada unsur politis, karena kabarnya dia calon wakil bupati di daerah tempat dia bekerja sekarang.

Purwanto kalau buat bangunan atau jalan sering cepat rusak, karena dia pintar memainkan anggaran dengan mengurangi material. Uangnya selain masuk ke rekening pribadi juga dipakai untuk upeti ke atas, sehingga sejelek apa pun proyek yang dia buat, jabatannya dipromosikan terus. Dan dengan gencarnya media menyorot Amrullah, Purwanto dapat tebar pesona juga di sana, dia banyak bercerita tentang sosok Amrullah yang baik seolah-olah dia kenal sangat dekat dengannya (padahal hanya say hello sekali lewat selama 2 semester di FK dulu).

Dan.......ICU hari ke tiga pukul 08.35, nafas Amrullah yang tadinya 30 an kali, sekarang tinggal 12 kali, suhunya yang dengan antibiotik paling mahal sekali pun diatas 38 derajad celcius sekarang dibawah 36 derajad, lalu urin nya tidak keluar lagi........tekanan darahnya 70 per palpasi......Diagnosis kerja Prof. Awal Surkoni Konsultan Infeksi sudah tetap: Shock sepsis refracter et causa pneumonia typical dengan multiple organ faillure.

Prognosisnya malam (buruk). Sembilan puluh tiga persen pasien dalam kondisi seperti ini meninggal. Prof. Awal ingin memasang mesin pembantu nafas (ventilator), namun keluarga Amrullah sudah pasrah.” Jangan tambah lagi penderitaannya, Prof. Kami sekeluarga sudah ikhlas.......”

Semua menunggu. Dari semua televisi di negeri Gemah Ripah ada 3 stasiun yang menghentikan semua tayangan sinetronnya di prime time dan menggantikannya dengan siaran langsung dari ICU Rumah Sakit Ogan. Dan hebatnya tidak ada pemirsa yang memprotes lewat telepon, fax ataupun SMS.

Yah, Amrullah si pahlawan hidup, atau tepatnya pahlawan yang masih hidup sudah jadi bintang. Ibu-ibu rumah tangga yang fanatik sinetron jam itu lebih menikmati siaran langsung mengharukan dari ICU yang benar-benar nyata. Tanpa akting dibuat-buat, tanpa make up...Mereka benar-benar menikmati tayangan penderitaan antara hidup dan mati dokter jomblo muda dan ganteng itu.

”Masa bodoh sama sinetron. Kalau setiap hari ada dokter sekarat karena pengabdiannya seperti ini, aku bersumpah tidak nonton sinetron lagi!” Tekad Cek Oleng salah seorang ibu rumah tangga di Ogan.

Pukul 22.13, monitor ECG berubah menjadi garis lurus...........”Flat………..!!!!” Teriak perawat ICU yang bertugas.

“CPR (cardio-pulmonary rescucitation)!!” Teriak Juan yang stand by di ICU 3 hari itu. Sekitar 30 menit dia memompa jantung teman yang juga musuh dalam berdebat, yang juga saingan mendekati cewek, serta sekaligus sahabatnya yang sedang sekarat itu. Dan Juan melakukannya sambil menangis, sesekali menjerit geram, “ Jangan mati Rull! Kamu masih bisa hidup!! Masih Bisa..Jangan mati!!”

”Berhenti Juan!!!Sadar!! Amrullah sudah gak ada....Dia sudah pergi....” Ian memegang bahu Juan mengingatkan si playboy yang masih memompa jantung Amrullah setengah jam lebih tanpa hasil. Tetap FLAT . Juan akhirnya berhenti, memukul-mukul lantai, terisak-isak. Lalu dia menatap Ian, Ian pun menatap Juan nanar.....Lalu mereka berpelukan.

Meledaklah tangis haru itu...........Dan semua kamera media massa atau pun cetak mengambil moment itu dari luar kaca ICU untuk siaran langsung, maupun halaman utama. Dan bisa dipastikan banjirlah air mata rakyat di seluruh negeri Gemah Ripah.....Bendera pun berkibar setengah tiang di rumah warga yang bersimpati. GEMAH RIPAH MENANGIS!!! Itulah judul salah satu koran nasional esok harinya.

Hari keempat itu, adalah hari pemakaman terbesar sepanjang sejarah kota Ogan. Presiden, wakil presiden Republik Gemah Ripah pun menyempatkan diri datang memberi penghormatan, jalan protokol dari rumah duka ke pemakaman dipenuhi lautan manusia, dan kabarnya televisi khusus berita dari Amerika ada 3 cannel yang meliput langsung acara pemakaman itu.

Mortui vivos docent. Manusia yang hidup belajar dari yang mati. Banyak yang akan diteladani dari kepahlawan Amrullah, dan yang diberi gelar pahlawan pasti sudah wafat.....dan untuk menggenapi syarat, menghalalkan gelar kepahlawanan itu Amrullah memang harus mati. Karena bintang jasa tertinggi pahlawan negara hanya akan diberikan saat seseorang sudah mati.

Manusia yang hidup, teman-teman Amrullah yang masih hidup akankah mau meneladani Mr. Clean yang sudah mati?

”Berat. Masih perjaka di usia 32 tahun......Belum have sex sampai mati di usia 32 tahun? Sepertinya mustahil......” Bergidik Juan membayangkan kesucian sahabatnya.

”Melayani tanpa pamrih di daerah transmigrasi gagal, tanpa mau korupsi dana-dana puskesmas.......Itu bukan kejujuran...Itu suatu keluguan....Dan si lugu sangat dekat dengan kemiskinan.... Pasti tenggelam...Tak Bisa melanjutkan sekolah...Kasihan...” dokter Gatot menggeleng-geleng prihatin.

”Terkenal, jadi bintang 3 hari, jadi sejenis aktor reallity show 3 hari....Tetapi akhirnya mati..rugi banget..”,”Kena sepsis tak terawat karena melayani mati-matian di daerah bencana.....tidak mau, ah. Cari dokter lain saja.”,”Dia seharusnya dokter teladan, tetapi karena idealis tidak mau kasih setoran 5 juta ke panitia, tidak dapat penghargaan apa-apa...Itu jujur atau pelit,ya?” Begitulah kira-kira pergumulan hati sejumlah teman sejawat sembari mengiringi keranda itu diusung menuju pemakaman.

Mortui vivos docent, yang hidup seharusnya belajar dari yang mati. Tapi meneladani pergulatan hidup Amrullah seperti mau buat orang mati dihidupkan lagi.

Sulit meneladani Amrullah. Dia bukan orang munafik, dia bukan orang serakah, dia bukan orang yang mengejar pujian, dia bukan orang penjilat. Bahkan sebagian temannya sejawat menganggap dia bukan orang. Dia malaikat!

Mungkin Amrullah memang berhati malaikat, dan kesucian hatinya jangan sampai tercemar lagi oleh godaan duniawi nanti-nanti. Tutup bukulah sekarang Rull. Orang baik memang harus mati muda.

Ian berjalan dengan langkah berat sampai ke pemakaman seraya membatin, ”Akan kuteruskan semangat pelayanan mu, Rull.....semampuku, walau pun aku tahu tidak mungkin ada kepahlawanan seagung kamu lagi.......”



TAMAT