Selasa, 24 Juli 2018

Paris, antara Gemerlap Lampu Menara Eiffel dan Muramnya Pengungsi Syria


Paris, antara Gemerlap Lampu Menara Eiffel dan Muramnya Pengungsi Syria
Setelah 6 jam menunggu di Amman Yordania dan sekitar 4 jam terbang dari sana ke Paris, kami berlima tiba di Bandara Charles de Gaulle pukul 16.30 waktu setempat. Kebetulan kami menginap di hotel 'budget' F 1 di sekitaran bandara itu karena pukul 7 pagi harus terbang ke Wina, karena tur wisata yang kami ikuti adalah di sekitaran Eropa Timur yang terutama Slowakia, Bratislava. 
Tetapi karena kalau ke Eropa tanpa ke menara Eiffel rasanya tidak lampias dan kebetulan tiket langsung Jakarta-Bratislava maupun Kuala Lupur Bratislava sangat mahal, maka terbang ke Paris dengan transit di Bangkok dan Aman, lalu lanjut dari Paris ke Wina dahulu, baru dari Wina naik bus ke Bratislava pun kami 'jabani'.
Mengisi batere telepon genggam sambil olahraga (dokumentasi pribadi)
Mengisi batere telepon genggam sambil olahraga (dokumentasi pribadi)
Di Terminal 2 Charles de Gaulle, kalau kehabisan listrik 'handpone' dapat mengisinya gratis asal mau berolahraga. Ya, dapat dilihat di foto atas, betapa kreatifnya petugas bandara memaksa pengunjung berolahraga sepeda statis, tambah semangat 'digowes' maka mengisi 'HP'-nya tambah cepat
Hotel budget di Paris (dokumentasi pribadi)
Hotel budget di Paris (dokumentasi pribadi)
Karena tidur hanya kurang 12 jam dan berlima harus dua kamar, kami menyewa hotel murah dekat bandara itu, tetapi karena sedang musim liburan, semurah-murahnya hotel masih juga kena di harga 1 jutaanrupiah juga sekamar yang katanya kalau tidak sedang liburan bisa di harga sepertiganya. Kamarnya kecil, tempat tidur bertingkat dan kamar mandinya diluar. Sedih? Enggak jugalah, harus merasakan juga berhotel 'budget' sesekali, kan?
Dari bandara ke hotel tersebut ada 'bus shuttle' dengan nama 'Silver' yang gratis, kalau naik taksi pasti mahal, sekitar 22 Euro untuk yang besar, karena kami berlima tidak boleh satu taksi kecil.
Pengungsi Syria (dokumentasi pribadi)
Pengungsi Syria (dokumentasi pribadi)
Sesudah mandi dan makan mi instan yang dibawa dari Indonesia (Palembang), pukul 19.30 yang masih serasa 3 siang kalau di Indonesia, kami memaksakan diri ke menara Eiffel, karena Paris itu harus kesana dan di perjalanan menumpang bus 350 (yang termurah menuju kota) kami melihat pemandangan di bawah jalan tol banyak pengungsi Syria yang membuat gubuk disana, mirip Jakarta saat masih banyak rumah kumuhnya (sekarang muncul lagi kayaknya).
Banyak pengungsi mengedarkan kotak minta bantuan ke pengendara di jalan yang beberapa orang ada yang tidak sungkan memberikan koinnya. Rasa kemanusiaan negeri ini patut diacungi jempol, walaupun ada beberapa kejadian terorisme dan kotanya menjadi agak kurang rapi, namun menyelamatkan nyawa ribuan pengungsi seperti ini membuat saya pribadi menaruh hormat pada negeri yang cenderung liberal ini.

Bus nomor 350 kami turun di perhentian Gare-du-nord, dimana kami menumpang bus 42 menuju taman Eiffel, naik bus ini terbilang murah, hanya seorang sekitar 2 euro, bandingkan kalau naik taksi besar (family) yang bisa 100 euro sekali jalan, sekitar 1,5 jutaan rupiah.
dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Akhirnya pukul 22-an tibalah kami di menara Eiffel, si sutet raksasa. Kegembiraan anak-anak melihat menara itu dan kebetulan pula kami datang saat matahari mulai redup pukul itu di musim panas di Prancis, tepat lampu kelap-kelip menara Eiffel dimainkan selama 10-15 menit, membuat kepenatan selama seharian perjalanan terlampiaskan dengan bahagia.
Kota Paris memang indah dan walaupun agak kotor dan banyak tenda darurat serta jemuran para pengungsi di kolong-kolong jembatan, bagi saya membuatnya lebih indah secara kemanusiaan, kesolidaritasan dan kebersamaan. Kota ini rela sedikit tidak rapi demi sesamanya.
'I'm falling in love with u Paris..."

dari FB kompal

Tidak ada komentar: