Rabu, 25 Juli 2018

Uniknya Mengemis Memakai Terjemahan dari "Smartphone" di Shibuya, Tokyo

Uniknya Mengemis Memakai Terjemahan dari "Smartphone" di Shibuya, Tokyo

Pagi , tanggal 13 Juni 2018 kemarin saya baru terbangun pukul 8 pagi,  langsung buat tulisan tentang perjalanan ke Gunung Fuji, takut kenangannya basi kalau lama-lama disimpan di otak entah bagian kanan atau kiri. Pokoknya, selesai mandi langsung "upload" foto di "facebook" dan video di "youtube", lalu mulai masuk ke kompasiana untuk meramu dua jenis dokumentasi itu sebagai anyaman kisah perjalanan yang diharapkan menarik.
Masalahnya, apa sih yang tidak menarik di Tokyo? Dan apa sih yang menarik di Tokyo yang belum dibahas oleh orang lain? Itu yang saya pikir keras selama kurang lebih 10 menit, setelah mendapat inspirasipun nantinya saya harus berpikir keras 10 menit lainnya, apa sih judul tulisan diatas ini yang membuat teman-teman sudi mampir dan jangan "melengos" saja?
dokpri
dokpri
Tetapi setelah kisah kemarin tayang di Kompasiana pukul 10.30 kurang lebih waktu Tokyo, "tour guide" pribadi saya si mamanya anak-anak mengajak berangkat ke stasiun Shinjuku Nishiguchi sekitar hostel dan memutuskan membeli tiket kereta "subway" seharian perusahaan Toei Line.
Di Jepang selain pemerintah, ada beberapa perusahaan lain yang memiliki jalur kereta api bawah tanah ini. Manfaatnya kalau mau jalan-jalan pakai tiket terusan ini jauh lebih hemat daripada yang putus-putus, karena kalau kesasar tinggal balik lagi dan bayarnya sama saja.
Perjalanan pertama kami adalah ke kuil tertua dan paling ramai dikunjungi di Tokyo, yaitu Kuil Sensoji di Asakusa, kami naik dari jalur E1 dan berhenti di E11, padahal kalau pindah kereta ke jalur A17, kita turun ke A18 yang lebih dekat, ini kami tahu saat pulangnya dengan tanya-tanya wisatawan lain. Maka ada banyak jalur peralihan yang perlu dipelajari sebelum berangkat.
Sensoji Temple (dok.pri.)
Sensoji Temple (dok.pri.)
Kuil Sensoji dibangun abad ke 6 Masehi dan sangat ramai dikunjungi oleh anak-anak sekolah serta wisatawan bule dan wajah Arab atau India. Uniknya disini banyak yang memakai kimono untuk ikut ritual tertentu.
Sejam di Kuil Sensoji, kami menuju Tokyo Tower, masuk lagi ke Asakusa Stasiun di A18 lalu turun di A09 selanjutnya pindah ke jalur E20 menuju E21. Berjalan kurang lebih 200 meter dari Stasiun Akabanebashi kita melihat taman Tokyo Tower.
Tokyo Tower (dok.pri.)
Tokyo Tower (dok.pri.)
Menara ini mirip "sutet" kita sebenarnya, tetapi ya di Tokyo jadi semacam "landmark" yang menjadi bukti kita sudah kesana harus ada foto "selfie" disini yang maunya dianggap semacam menara Eiffel di Paris. Disini ada banyak alat-alat bantu untuk olehraga, bahkan kursi tamannya pun dibuat melengkang-lengkung sesuai dengan lekukan untuk posisi yoga.
Puas bermain di taman olahraga menara Tokyo, kembali masuk ke kereta bawah tanah di jalur E21 kita menuju E24 lalu turun dan pindah ke jalur Z3 menuju ke Z1, Shibuya Stasiun yang terkenal dengan legenda anjing setianya, Hachiko.
Hachiko dan keluargaku (dok.pri.)
Hachiko dan keluargaku (dok.pri.)
Kisah Hachiko yang hidup tahun 1923-1935 menjadi pelajaran tentang kesetiaan pada anak-anak sekolah dasar di Jepang. Alkisah, anjing jantan jenis Akita Inu ini dipelihara oleh seorang Profesor bidang pertanian di Tokyo yang rumahnya dekat Stasiun Shibuya. Setiap sore si anjing selalu menyambut tuannya di stasiun kereta ini pulang kerja, namun setelah si Profesor meninggalpun Hachiko selalu menunggu di depan stasiun sore hari sampai akhirnya meninggal.
Kesetiaan anjing ini jadi melegenda dan dibuatkan patung serta ada filmnya, membuat lokasi ini menjadi tempat "janjian" paling terkenal di Jepang. Mengantri berfoto di depan monumen atau patung Hachiko lumayan panjang dan harus sabar, kalau mau nyelonong pasti ada yang menjerit emosional marah.
Shibuya cross (dok.pri.)
Shibuya cross (dok.pri.)
Berlanjut kita dapat melihat wisata unik di Tokyo yang namanya "Shibuya Cross" dimana ada 5 lampu merah dari 5 simpang jalan yang serempak berhenti mobil-mobilnya lalu ada 5 rombongan pejalan kaki dari sisi yang berlainan menyeberang serempak. Suasananya heboh dan tidak jarang wisatawan bolak-balik ikut menyeberang di jalanan ini hanya buat ambil foto dan membuat video.
Seru benaran kalau menyeberang ramai-ramai seperti ini, karena kabarnya, kalau belum ikut-ikutan berfoto atau bervideo saat di Shibuya, maka liburan ke Tokyonya seperti kurang garam.
Oh,ya. Sebelum menyeberang itulah saya sedikit "shock" ketika seorang Jepang berpakaian lusuh tetapi rapi, tidak kurus, mukanya putih tetapi agak lebih tua dari saya karena mulai ubanan memegang tangan saya dan meminta maaf "Sorry" lalu menunjukkan "smartphone"-nya yang menerjemahkan tulisan Jepang ke bahasa Inggris berbunyi demikian "Sorry, can't you give me a change for food?"
Begitu melihat tulisan itu dan dia sepertinya setengah memaksa atau memohon saya kurang tahu, kuputuskan melepaskan pegangannya dan berkata, "Sorry, excuse me.." Dan memilih pergi meninggalkannya. Pertama, karena uang receh dan besar yang memegang istri saya yang sudah jalan di depan, alasan kedua saya takut ini menjadi lebih serius dari hanya sekedar minta "recehan", bagaimana tidak, dia memakai "smartpone" untuk mengemis ke orang asing, aneh banget,kan?
Harap maklum, GDP ("Gross domestic Product") Jepang yang mencapai puncaknya tahun 2012 di 6000-an milyar dollar mengalami penurunan dibawah 5000 milyar dollar akhir-akhir ini akibat kalah bersaingnya mereka dengan industri Tiongkok dan Korea Selatan. Jadi bukan tidak mungkin banyak pengemis baru di Jepang karena kalah berkelahi dengan waktu.
Kesimpulannya sih memang Indonesia lebih asyik untuk wisata alam dan wisata kuliner, tetapi untuk wisata diluar itu ya boleh mencarinya di Tokyo, pasti banyak yang unik. Tetapi bagaimanapun juga daripada penasaran, kita harus tetap ke Jepang,kan? Sekarang bagaimana membuat seluruh Tokyo atau kota lain di dunia masyarakatnya sama penasarannya mengunjungi Indonesia? Itulah "PR" besar kita.
dari FB Kompal

Tidak ada komentar: